TEMPO.CO, Jakarta - Tim advokasi mengkritik pasal yang dipakai polisi dalam menjerat dua pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.
Menurut tim advokasi ada kecenderungan untuk melokalisasi teror ini menjadi pelaku tunggal dengan motif dendam pribadi.
“Tim advokasi melihat ada kecenderungan yang dibangun bahwa tersangka adalah pelaku tunggal dan menyederhanakan serta mengalihkan kasus kejahatan ini karena persoalan pribadi,” kata anggota tim advokasi, M. Isnur saat dihubungi, Kamis, 2 Januari 2019.
Menurut tim advokasi, kepolisian menjerat dua polisi aktif yang ditengarai menyerang Novel, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis , dengan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pengeroyokan dan Pasal 351 ayat (2) KUHP tentang penganiayaan yang membuat luka berat.
Menurut Isnur, penyidik kepolisian seharusnya menggunakan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan. Meski belum ada tersangka, kata dia, pasal itu dapat digunakan untuk menjerat aktor intelektual dari kasus ini.
Ia mengatakan pasal itu pernah dipakai polisi saat menetapkan Pollycarpus menjadi tersangka kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Dalam kasus Munir, pada akhirnya tim pencari fakta menemukan adanya keterlibatan petinggi lembaga negara dan penyidik pun melakukan penyidikan tidak hanya pada pelaku lapangan.
Isnur menilai kasus Novel dan Munir serupa, yakni ada aktor intelektual di balik serangan itu. Maka itu, ia menilai polisi perlu menggunakan Pasal 55 kepada dua tersangka penyerangan terhadap Novel Baswedan.