TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga swadaya masyarakat antikorupsi Perkumpulan Malang Corruption Watch (MCW) mengklarifikasi masalah pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh salah seorang aktivis mereka.
Koordinator Badan Pekerja MCW M. Fahrudin Andriyansyah menyatakan tindakan pelecehan seksual merupakan tindakan yang patut dihukum dan dijadikan musuh bersama. MCW sama sekali tidak ingin menutupi dan membabi buta membela terduga pelaku. Siapa pun pelakunya di MCW pasti diperiksa dan dimintai pertanggungjawabannya.
Namun, kata Fahrudin, proses pembuktian kebenaran haruslah dengan syarat-syarat prosedur dan skema yang jelas sesuai mekanisme atau aturan main yang berlaku di organisasi MCW.
“Bukan dengan cara sporadis dan hanya berdasarkan informasi dari pihak lain yang sifatnya testimonium de auditu, kesaksian dari dengar-dengar atau katanya-katanya dari pihak lain, yang kemudian dinarasikan dan atau di-framing lewat media sosial seolah-olah lembaga MCW pun terlibat dalam masalah pribadi orang yang bekerja di sini,” kata Fahrudin di Wisma Kalimetro, Jalan Joyosuko Metro, Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, Jumat sore, 27 Desember 2019.
Fahrudin memastikan tim kecil MCW sedang melakukan proses investigasi internal untuk mendalami kasus tersebut. Terduga pelaku sudah diperiksa dan mengakui perbuatannya. Tapi detail pengakuan terduga tidak disebutkan.
Pengurus MCW sudah membentuk tim kecil untuk melakukan investigasi internal dan saat ini tim sedang berusaha meminta keterangan pada korban maupun pendamping korban. Pemberian sanksi dilakukan setelah mendapat laporan hasil investigasi. Sanksi diberikan sesuai jenis dan derajat kesalahan terduga pelaku.
Berikut kronologi kemunculan kasus tersebut:
Pertama kali muncul di media sosial
Kasus dugaan pelecehan seksual tersebut pertama kali beredar luas lewat media sosial, terutama lewat Twitter dan grup WhatsApp, Kamis, 26 Desember 2019. Banyak akun media sosial mengunggah kronologi kasusnya.
Dua orang korban
Di media sosial beredar kronologi kejadian pelecehan seksual yang dituduhkan dilakukan aktivis MCW. Semula beredar kronologi tanpa penyebutan nama pribadi terduga pelaku dan nama organisasinya. Dalam tempo cepat, muncul kronologi kasus serupa yang sudah menyebutkan nama terduga pelaku pemerkosaan dan nama MCW. MCW dituding melakukan pembiaran.
Disebutkan pula ada dua korban. Korban pertama disebutkan mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Malang yang sedang melakukan riset tentang kasus korupsi di Malang. Sedangkan korban kedua disebutkan sebagai aktivis pers kampus PTN lain di Malang. Tempat kejadian perkara disebutkan di lokasi berbeda, pantai hingga kamar hotel di Kota Batu.
Laporan Diterima MCW 24 Desember 2019
Ketua Dewan Pengurus MCW Luthfi Jayadi Kurniawan mengaku mendapat laporan kasus tersebut menjelang magrib, Selasa, 24 Desember 2019.
Luthfi mendapat pesan pribadi singkat lewat WhatsApp dari seseorang yang mengaku pendamping korban sebelum MCW menerima pengaduan resmi dari pihak yang mengaku pendamping korban. Luthfi menyarankan pihak pendamping menyusun kronologi dan menyertakan bukti. Pendamping kemudian hanya mengirimkan kronologi. Namun informasi di media sosial menyebutkan pendamping mempunyai bukti video kekerasan seksual tersebut.
“Tidak benar kami dituduh melakukan pembiaran kasus tersebut. Setelah laporan resmi tertulis kami terima, malamnya (Kamis, 26 Desember 2019) kami dari Dewan Pembina, Dewan Pengawas, Dewan Pengurus, dan Badan Pekerja mengadakan rapat darurat untuk menyikapi laporan tersebut,” kata Luthfi.
Pendamping Korban Belum Bisa Dijumpai
Fahrudin mengatakan, MCW telah berusaha menghubungi pendamping korban setelah menerima laporan resmi tertulis. Namun, pendamping belum bisa dijumpai karena masih berada di luar Malang.
“Sampai hari ini saya masih komunikasi dengan pendamping dan pendamping sampaikan jika saat ini sedang di luar kota sampai Januari mendatang,” kata Fahrudin.
MCW ingin mengetahui langsung apa saja yang sebenarnya diinginkan korban maupun pendampingnya mengingat saat ini informasi yang beredar di media sosial sangat liar, sudah melebar di luar pokok perkara. Sejumlah fakta yang disampaikan lewat media sosial tidak sinkron dengan fakta-fakta yang diperoleh MCW.
MCW Bentuk Tim Khusus
Sebuah tim kecil dibentuk MCW untuk melakukan investigasi internal. Tim dibentuk setelah MCW mengadakan rapat darurat pada Kamis malam, 26 Desember 2019.
Personelnya diambil dari internal MCW, plus mediator dari luar MCW. Karena itu, MCW terus berusaha menjumpai pendamping korban untuk mempertajam kronologi kejadian yang sebenarnya.
MCW tetap menganut asas praduga tak bersalah dan mengutamakan perspektif perlindungan korban. MCW tak ingin kasusnya terus digencarkan lewat media sosial sehingga bisa membuat korban malah makin tertekan.
“Kami membuka ruang dialog selebar-lebarnya dengan siapa pun. Permintaan pihak pendamping untuk memecat terduga pelaku tidak bisa dikabulkan begitu saja karena pengambilan keputusan di MCW selama ini harus melalui kesepakatan yang melibatkan Dewan Pembina, Dewan Pengurus, Dewan Pengawas, dan Badan Pekerja. Enggak bisa mengambil keputusan secara sporadis ala warung kopi begitu,” kata Luthfi.
MCW Takkan Menggugat Pendamping
Ketua Dewan Pengawas MCW Zulkarnain menyayangkan beredarnya kronologi kejadian tersebut dan informasi-informasi lain yang tidak verifikatif terkait dengan kasus tersebut di media sosial. Salah satu informasi liar itu ialah tuduhan terduga pelaku melakukan pemerkosaan. Isunya menjadi viral di media sosial.
“Padahal yang berhak menentukan pelecehan seksual itu kriminal atau bukan adalah penegak hukum. Tapi kami tetap mengusut kasusnya sampai tuntas. Jadi jangan dituduh-tuduh kami melakukan pembiaran,” kata Zulkarnain.
Menurut dia, informasi liar di media sosial sebenarnya sudah mencemarkan nama baik MCW. MCW, kata Zulkarnain, bisa saja menggugat pendamping atau siapa pun pihak yang dianggap telah melakukan fitnah maupun menyemburkan ujaran kebencian.
Namun Zulkarnain dan Luthfi memastikan MCW tidak akan menempuh upaya hukum dengan menggugat pendamping dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE maupun dengan undang-undang pidana lain.
“Tidak ada ancaman dari kami seperti yang dituduhkan. Kami hanya mengingatkan agar siapa pun dari pihak pendamping lebih berhati-hati agar tidak sampai ada ujaran kebencian dan fitnah. Kami sepakat untuk duduk bersama, berdialog, menyelesaikan masalah itu. Makanya kami terus berusah melakukan pendekatan dengan pendamping. Enggak usahlah pakai mentang-mentangan,” kata Luthfi.
Pendamping Korban Mengaku Punya Bukti
Pendamping korban Salma Safitri dalam keterangan tertulis menyatakan korban memiliki bukti dan dokumen percakapan yang terkait dengan kasus pelecehan seksual tersebut. Kata dia, buktinya berupa rangkaian kejadian yang diakui korban dan pelaku. Bahkan, pelaku mengaku bersalah dan menyatakan korbannya lebih dari satu orang. Pelaku menyatakan siap bertanggung jawab dan menanggung konsekuensinya.
“Sesungguhnya percakapan perihal adakah perkosaan, dan pemaksaan rangkaian aktivitas seksual, telah dikonfirmasi oleh kedua belah pihak dari awal proses pertemuan pendamping
dengan pihak pelaku dan MCW, serta pelaku mengkonfirmasi bahwa hal itu benar adanya telah terjadi,” ujar Safitri.
Salma Safitri mengatakan, tim advokasi dan pendamping korban sangat kecewa terhadap sikap MCW yang terkesan melakukan pembiaran.
Lewat keterangan tertulis, Salma mengutarakan bahwa persoalan utama dalam kasus tersebut berpangkal pada keberatan MCW untuk memenuhi tuntutan korban memecat terduga pelaku kekerasan seksual. Bahkan, dalam pertemuan tim advokasi dan tim pendamping dengan pihak MCW, M. Fahrudin Andriyansyah selalu Koordinator Badan Pekerja MCW berdalih bahwa masalah tersebut merupakan masalah pribadi yang tidak ada hubungannya dengan lembaga.
“Koordinator MCW mengungkapkan bahwa ini hanyalah masalah pribadi yang tidak berhubungan dengan lembaga. Dari sini pendamping memahami bahwa tuntutan pertama sulit dipenuhi,” kata Safitri.
Pernyataan Safitri itu ditanggapi Luthfi Jayadi Kurniawan. Katanya, MCW akan langsung menghentikan terduga pelaku jika terbukti bersalah. Namun, sebelum tindakan sanksi dilakukan, MCW harus mempunyai bukti-bukti yang kuat.
Lutfhi pun mengharapkan kesediaan tim advokasi dan pendamping korban bersedia bertemu dengan MCW untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Opsinya yang bersangkutan (terduga pelaku) mengundurkan diri atau kami berhentikan sebagai volunteer. Kami tidak memecat, karena kami sifatnya lembaga. Selain itu kami juga akan beri pembinaan terhadap yang bersangkutan karena itu tanggung jawab kami. Hal ini juga berkaitan dengan perspektif perlindungan korban,” kata Luthfi.
Motif Peristiwa
Salma Safitri menyampaikan pada pertemuan pertama kedua belah pihak, pendamping telah menghubungkan MCW dengan korban melalui sambungan telepon dengan Koordinator Badan Pekerja MCW.
Dalam percakapan tersebut, pihak MCW menegaskan masalah tersebut hanya sebagai masalah asmara yang memicu keinginan balas dendam oleh korban. Sejak itu korban enggan berhubungan dengan MCW lagi.
Koordinator Badan Pekerja MCW M. Fahrudin Andriyansyah mengatakan, pihaknya terus melakukan komunikasi dengan pendamping. MCW telah meminta kepada pihak korban maupun tim pendampingnya untuk bertemu membahas setiap tuntutan yang disampaikan lewat pendamping.
Permintaan itu belum bisa dilakukan karena salah satu pendamping sedang berada di luar kota hingga awal Januari 2020.
“Tami tim kami terus melakukan investigasi internal dengan menggunakan cara-cara lain, dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah dan menggunakan perspektif perlindungan korban. Jangan sampai kasus ini berlarut-larut yang justru makin membuat korban menderita,” kata Fahrudin.