TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch menilai penarikan Jam penghitung waktu kasus Novel Baswedan dan sepeda dari lobi gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menandakan ketidakberpihakan penuntasan penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK itu.
"Kalau ada pimpinan yang mencoba untuk menghilangkan dengan dasar argumentasi yang enggak jelas, artinya pimpinan tidak berpihak pada penuntasan kasus Novel," kata Peneliti ICW Wana Alamsyah kepada Tempo pada Jumat 27 Desember 2019.
Wana menilai, jam dan sepeda itu merupakan simbol tidak hadirnya negara dalam penuntasan kasus Novel Baswedan. Dua simbol itu sebagai pengingat bahwa kasus Novel belum usai. "Itu simbol melawan lupa, merawat ingatan," katanya.
Sejak Kamis, 26 Desember 2019, Jam penghitung waktu kasus Novel Baswedan dan sepeda itu tak ada lagi di depan lobi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi pada Kamis, 26 Desember 2019.
Jam dan sepeda itu tak ada lagi di hari kedua setelah pimpinan KPK baru, yaitu Firli Bahuri, Lilik Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata dan Nurul Ghufron dilantik pada 20 Desember 2019.
Wana menjelaskan, sepeda adalah simbol penghargaan bila ada masyarakat yang dapat menemukan pelaku. Menurutnya, ketika dua simbol itu ditutupi dan dimasukkan ke dalam ruangan KPK yang tidak bisa dilihat publik, secara jelas artinya pimpinan yang kini menjabat mencoba melupakan kasus Novel.
"Dengan upayanya untuk membuat masyarakat lupa akan kejadian Novel 2 tahun 8 bulan yang lalu."
Melihat kondisi saat ini, Wana menilai penarikan dua benda itu juga menegaskan pimpinan KPK tidak berpihak pada korban di KPK. "Apakah ketika dilantik, adakah janji-janji untuk menuntaskan teror dan intimidasi di KPK? Sebacaan saya, enggak ada," ujarnya.
HALIDA BUNGA FISANDRA | ROSSENO AJI