INFO NASIONAL — Kementerian Perdagangan Republik Indonesia serius menjalankan mandat Presiden Joko Widodo demi tercapainya pertumbuhan ekonomi di atas lima persen pada 2020. Mandat Presiden adalah menjaga neraca perdagangan melalui penyelesaian perundingan perdagangan, serta pengendalian impor secara selektif, diutamakan bahan baku penolong tujuan ekspor dan investasi.
Dua mandat tersebut diaplikasikan melalui strategi jangka pendek dan strategi jangka menengah. Adapun strategi jangka pendek yang kini menjadi fokus Kemendag yakni meratifikasi 13 perjanjian yang conclude dan menyelesaikan 12 perjanjian perdagangan internasional.
Baca Juga:
Sebanyak 12 perjanjian perdagangan yang dalam proses adalah Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Indonesia dengan EU CEPA (Uni Eropa), Indonesia dengan Maroko PTA, Indonesia dengan Tunisia PTA, Indonesia dengan Bangladesh PTA, Indonesia dengan Turki CEPA, Indonesia dengan Iran PTA, Protocol to Amend IJEPA, General Review AANZFTA, General Review AIFTA, Indonesia dengan Pakistan, serta General Review ASEAN Trade in Goods Agreement.
“Dari 12 perjanjian yang mendekati selesai adalah dengan Tunisia. Mudah-mudahan Februari atau Maret tahun depan tuntas,” ujar Wakil Mendag Jerry Sambuaga dalam Tempo Economic Briefing bertajuk “Menggali Pertumbuhan Sumber Ekonomi Baru 2020” di Jakarta, 19 Desember 2019.
“Terkait perundingan dengan Uni Eropa (EU CEPA) sudah berlangsung selama 9 kali,” ucap Jerry. Disayangkan, turunan produk kelapa sawit yang diekspor ke sana dilarang. Padahal bahan baku ini banyak digunakan dalam berbagai olahan industri di Eropa.
Baca Juga:
“Isu sentral adalah menerapkan produk yang diekspor mendapatkan kemudahan, misalnya kelapa sawit saat ini ada tensi yang tinggi dari Uni Eropa. Terjadi diskriminasi terhadap barang kita yang masuk ke sana,” tutur Jerry.
“Ini menunjukkan ketidakkonsistenan Eropa dalam mengimplementasi free trade. Seharusnya kalau mereka memaknai free trade maka bisa dibuka luas, bukan malah memproteksi produk-produk tertentu dengan alasan lingkungan atau sustainability,” ujarnya menambahkan.
Perundingan alot dengan EU CEPA, ditambah gugatan yang dilayangkan ketika Indonesia menyetop ekspor nikel, tak menyurutkan Kemendag mencari peluang baru tujuan ekspor. Jerry menyebutkan, hal ini dilakukan guna membuka peluang pertumbuhan ekonomi baru dengan cara memetakan ekspor ke beberapa kawasan. Memang upaya yang patut dikejar, mengingat share ekspor masih kurang dari satu persen.
Adapun langkah yang diambil yakni menjajaki kerja sama dengan negara-negara mitra dagang baru. “Misalnya negara-negara Eurasia, ECOWAS, dan Gulf Cooperation Council,” kata Jerry.
Mengutip data yang dirilis Kemendag, terdapat setidaknya 10 kawasan yang berpotensi menerima ekspor berbagai komoditi dari Indonesia. Misalnya Amerika Utara untuk produk karet, batu bara, dan udang senilai US$ 23,2 miliar, Chili untuk karet, pupuk urea, dan mainan anak. Afrika untuk CPO, bijih tembaga, dan makanan olahan, hingga Bangladesh yang siap menerima emas, batu bara, serta CPO dengan nilai sekitar US$ 20,8 miliar.
Sedangkan rencana misi dagang pada 2020, Kemendag berupaya memuluskan jalan dengan Pakistan, Vietnam, Korea Selatan, Prancis, Jepang, Australia, negara-negara teluk (gulf countries), negara-negara Afrika (ECOWAS), serta Eurasia.
Problema sawit atau CPO turut diamati Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Iskandar Simorangkir. Menurut dia, kasus ini menarik karena terjadi masalah di Eropa tapi ekspor justru naik ke Vietnam dan Cina.
“Di tengah pertumbuhan ekspor yang negatif, ada yang positif ke empat negara, yaitu Vietnam, Singapura, Arab Saudi, dan Cina,” ujar Iskandar. (*)