TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Laode Muhammad Syarif membuat puisi untuk almarhum Imawan Randi.
Randy merupakan mahasiwa Universitas Halu Oleo yang tewas tertembak dalam unjuk rasa Revisi UU KPK, di DPRD Sultra, pada 26 September 2019 lalu.
Puisi ini dibacakan Laode dalam dialog publik bertajuk Jangan Biarkan Lilin Perjuangan Pemberantasan Korupsi Padam di Auditorium ACLC - Pusat Edukasi Antikorupsi Gedung Lama KPK, Jakarta pada Kamis 19 Desember 2019.
"Puisi itu saya buat jam 2 pagi karena enggak bisa tidur. Itu setelah saya telepon ibunya Randy. Ibunya bilang, kasihan anakku. Saya bikin di handphone sambil tidur. Dan saya mohon maaf kepada anak keempat (korban lainnya). Saya tulis puisi juga tentang mereka," katanya.
Dua keluarga mahasiswa Universitas Haluoleo Kendari, Almarhum Randi dan Yusuf Kardawi, usai melakukan pertemuan tertutup dengan wakil ketua KPK Saut Situmorang dan penyidik senior Novel Baswedan, di gedung KPK, Jakarta, Kamis, 12 Desember 2019. Randi dan Yusuf menjadi korban dalam aksi unjuk rasa menolak revisi Undang-Undang KPK . TEMPO/Imam Sukamto
Dalam haru dan sedikit terisak, Syarif membacakan puisinya. Berikut ini puisi lengkap ciptaan Syarif:
Anak laut matahari negeri, anak laut itu tumbuh di tanah cadas bebatuan pantai Lakarinta, Pulau Muna.
Tumbuh dari singkong dan jagung yang menembus cadas dan air laut yang menggarami hidupnya.
Tanpa keluh tanpa kesah menjalani hidup yang memang keras dari awalnya. Di mata La Sali dan Wa Nasrifa, dia adalah matahari di antara dua bulan belahan hati.
La Sali tekun mengajari mataharinya arah angin dan riak gelombang agar mampu membaca laut. Wa Nasrifa tekun membimbingnya mengenal aksara semampu yang dia pahami.
La Sali sadar, membaca laut dengan hanya bermodal dayung dan kail tidak akan memuliakan mataharinya. Satu satunya asa hanya pada ketekunan dan kekerasan hati mataharinya. Sang anak laut, tumbuh sesuai kehendak alam menembus cadas menyelami karang.
Sang anak laut tidak bermimpi menjadi matahari, tapi di lubuk hatinya dia bertekad meninggikan tiang perahu ayahnya. Melebarkan dapur ibunya, dan meluaskan pikiran kakak dan adik-adik perempuannya.
Lewat bidikmisi dia awali perantauannya, mengejar matahari menyelami cara memuliakan ikan. Bahkan disambi dengan menjadi kuli bangunan demi doa dan harapan orang tuanya.
Hari Kamis 26 September 2019, pantai Lakarinta tenang. Air semilir memanjakan ikan yang melompat riang di balik matahari sore.
La Sali sedang melaut dengan jaring dan kail satu-satunya, demi matahari dan dua bulan yang merantau. Burung laut bersuara lirih menghampiri perahunya, tapi tak dihiraukan karena angannya di penuhi matahari dan dua bulan di tanah rantau.
Dia tambatkan perahunya lalu menuju rumah dengan menghitung langkahnya. Tetapi kali ini berbeda, karena kerabat menjemputnya dalam diam.
Ohaini.. Ohaini... ada apa ini.. ada apa ini..
Tak ada suara, tak ada jawaban.
Laut nusantara tiba-tiba dingin, ikan terdiam
nyirub menunduk.
Anak laut itu melejit jadi matahari, membumbung, menyebar sinarnya, melelehkan pedih yang merenggut raganya. Dan jiwanya tetap hidup bergemuruh di dalam dada anak negeri yang menolak bersekutu dengan kebohongan dan kepalsuan.
Duka anak laut, mengenang Randi.