Majalah Tempo edisi 8 Februari 2019 pernah menuliskan bagaimana Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko berakrobat untuk menyelamatkan kondisi keuangan perusahaan.
Selain pusat belanja Cilandak Town Square alias Citos di kawasan Jakarta Selatan, ada sejumlah kekayaan berupa bangunan yang dinilai kinclong dan bisa segera menghasilkan duit tunai.
Hexana menyebutkan perseroannya berkolaborasi dengan empat badan usaha milik negara (BUMN) sektor konstruksi untuk mengoptimalkan aset yang selama ini tidak produktif. Sebanyak 22 properti pun dikerjasamakan. “Pokoknya, banyak usaha dan tidak ada lagi aset menganggur,” ujar Hexana, kala itu.
Sementara itu, pemeriksaan BPK terhadap perusahaan asuransi jiwa itu masuk bulan keenam. Audit ini merupakan permintaan langsung dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara, pemegang saham Jiwasraya.
Sebelumnya, Kementerian BUMN meminta kantor akuntan publik PricewaterhouseCoopers (PwC) mengaudit keuangan Jiwasraya. PwC menelusuri nilai pencadangan perusahaan.
Hasil audit PwC keluar setelah tiga anggota direksi sebelumnya, yakni Direktur Utama Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Harry Prasetyo, serta Direktur Keuangan, Investasi, dan Teknologi Informasi De Yong Adrian lengser per akhir Januari 2018.
Trio ini menjabat dua periode sejak 2008. Saat perpisahan, karyawan menyebut mereka “The Legend”. “Karena dianggap menyelamatkan perusahaan keluar dari lubang krisis,” kata petinggi Jiwasraya yang hadir dalam acara tersebut.
Saat peralihan manajemen, kabar mengenai kesehatan keuangan Jiwasraya belum merebak. Baru setelah Asmawi dan Hexana menerima laporan PwC, kejanggalan laba perusahaan yang tercantum dalam laporan keuangan perusahaan 2017 mulai terkuak. Laba yang tadinya Rp 2,4 triliun menciut menjadi Rp 328,44 miliar karena ada kenaikan cadangan premi.
Menurut Hexana, perubahan laba itu terjadi karena portofolio keuangan manajemen lama dikelola dengan risiko tinggi untuk mendapatkan imbal hasil yang tinggi. Sedangkan aset perusahaan yang besar belum tentu menjanjikan profitabilitas tinggi. “Sehingga dia akan memompa risiko,” ujar Hexana.
Deputi Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Konsultan Kementerian BUMN Gatot Trihargo mengatakan tidak berdisiplinnya manajemen dalam investasi mengakibatkan Jiwasraya limbung dan kembali jatuh sakit. Walhasil, produk JS Saving Plan, yang memiliki jangka waktu jatuh tempo polis per tahun tapi dengan proteksi jiwa selama lima tahun, harus dihentikan.
Menurut Gatot, manajemen terbiasa mengasumsikan semua nasabah akan memperpanjang polis. Sedangkan dana besar itu tidak diinvestasikan pada produk-produk yang cair. “Selisih antara cost of fund dan imbal hasilnya sangat dalam,” ucap Gatot. Catatan yang dipegang Kementerian BUMN menyebutkan hanya 26 persen produk investasi yang bisa menghasilkan dan dicairkan sewaktu-waktu.
Pemilik saham sudah lama menyoroti pengelolaan investasi perusahaan yang tak wajar. Jika menilik laporan keuangan, tak terlihat Jiwasraya menyimpan demam sejak dulu. Setiap kali akan ada rapat umum pemegang saham, kata Gatot, manajemen memoles laporan keuangan dengan menempatkan saham yang tiba-tiba harganya tinggi di akhir bulan. “Semestinya yang dipakai adalah harga saham fair market value, bukan harga pasar saja.” Baca selengkapnya di "Pencak Silat Sang Legenda"