TEMPO.CO, Bandung - Penggusuran permukiman di RW 11, Kelurahan Tamansari, Kota Bandung, Kamis, 12 Desember 2019, diwarnai bentrokan antara masyarakat dengan aparat keamanan. Buntut bentrokan tersebut, kepolisian menangkap sejumlah orang yang merupakan masyarakat yang bersimpati terhadap korban gusuran.
Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan masyarakat yang bersolidaritas terhadap warga korban gusuran. Penembakan gas air mata itu dilakukan setelah sebelumnya masyarakat terlibat bentrok dengan aparat keamanan.
Pantauan Tempo, kerusuhan di lokasi penggusuran itu bermula saat masyarakat hendak mengadang backhoe yang telah siaga di area pemukiman yang tersisa. Warga terus melawan dengan cara memaksa mundur personel Satpol PP.
Tak lama berselang, perlawanan tersebut berubah menjadi perang batu. Lemparan batu yang dilakukan warga dibalas oleh sejumlah aparat Satpol PP. Bentrokan pun menjalar hingga ke arah Mal Balubur Town Square. Sejumlah aparat kepolisian mengejar warga yang berlarian ke arah mall.
Seorang warga yang bersolidaritas, Nanang, menyebutkan, ada sejumlah teman-temannya yang ditangkap polisi. Bahkan, berdasarkan video rekaman masyarakat yang beredar, sejumlah orang mendapat aksi kekerasan dari aparat berseragam polisi. "Anak-anak dipaksa bubar. Beberapa orang ditangkap," kata Nanang.
Polisi pun sempat melemparkan gas air mata ke arah masyarakat yang mencoba menghadang. Tembakan gas air mata tersebut jatuh di dekat tempat pengungsian sementara bagi warga korban gusuran, di Masjid Al-Islam.
Kuasa hukum warga dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Rifki Zulfikar mengatakan pihaknya masih mendata berapa orang yang ditangkap oleh polisi. "Kami masih kumpulkan data dari teman-teman di lapangan," ucap Zulfikar.
Menurut dia, warga menolak penggusuran paksa yang dilakukan oleh Satpol PP. Ia mengatakan, proses penggusuran itu dilakukan dengan prosedur yang ngawur. Karena, sebelumnya, warga tidak diberitahu hunian mereka bakal dibongkar paksa.
"Alasannya enggak kuat terkait pembongkaran ini. Pertama kasusnya masih bergulir di pengadilan, izin lingkungannya masih diuji. Tapi tindakan-tindakan pengosongan ini dilakukan tanpa ada peringatan yang layak," kata dia.
Menurut dia, status tanah tersebut belum bisa diklaim sebagai aset Pemkot Bandung. Berdasarkan surat dari Badan Pertanahan Negara status tanah tersebut masih berstatus sebagai tanah negara bebas. Artinya, status kepemilikan lahan tersebut belum bisa diklaim dimiliki oleh Pemkot maupun warga.
Sengketa lahan di Tamansari ini sudah terjadi sejak tahun 2017. Pemkot mengklaim lahan tersebut merupakan asetnya. Lahan yang terletak di bawah Jembatan Pasupati tersebut direncanakan akan dibangun rumah deret. Pemkot Bandung merencanakan tahun 2019, proyek tersebut akan segera dimulai.
Pada tahun 2018, sebagian warga Tamansari sudah meninggalkan kediaman tersebut. Namun, hingga saat ini masih ada sekitar 30 kepala keluarga yang bertahan tinggal di pemukiman tersebut.
Sementara itu, Kepala Satpol PP Kota Bandung Rasdian Setiadi mengatakan, penggusuran tersebut merupakan langkah Pemkot untuk menertibkan asetnya. Ia pun mengklaim, pihaknya telah memberikan surat peringatan kepada warga untuk segera meninggalkan lahan tersebut sejak jauh-jauh hari.
"Ini memang sudah cukup lama. Kita sudah berikan surat peringatan satu, dua, tiga. Meskipun agak sudah lama. Tapi itu tidak berpengaruh manakala Pemerintah alan membangun rumah deret itu bisa ditertibkan," katanya.
Pada penggusuran tersebut, aparat yang terdiri dari Satpol PP dan Kepolisian berjumlah 1.260 personel. Hingga pukul 14.00, aparat masih melakukan pengamanan di sekitar lokasi gusuran. Sedangkan warga dan sejumlah aktivis masih bertahan untuk mengadang aparat melanjutkan pembongkaran.