TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan mengatakan, doxing menjadi salah satu bahaya kekerasan yang mengancam jurnalis di era digital.
Doxing adalah tindakan mencari dan mempublikasikan identitas pribadi seseorang di media sosial untuk tujuan menyerang orang tersebut.
"Yang merisaukan di era digital itu adalah model baru kekerasan terhadap wartawan di dunia digital. Kami sendiri perlu beradaptasi menanganinya," kata Manan dalam diskusi di kampus STH Jentera, Jakarta Selatan, pada Rabu lalu, 11 Desember 2019.
AJI mencatat, pada 2018 terdapat tiga kasus doxing berujung persekusi online terhadap jurnalis Kumparan.com dan Detik.com.
Jurnalis kumparan.com dipersekusi antara lain karena tidak menyematkan kata 'habib' di depan nama Rizieq Shihab dalam beritanya.
Adapun jurnalis detik.com dipersekusi terkait berita tentang pernyataan juru bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin dan saat meliput peristiwa yang disebut “Aksi Bela Tauhid” pada 2 November 2018.
Lantas apa yang mesti dilakukan untuk mengantisipasi ancaman ini?
Manan menjelaskan bahwa tak bisa dipungkiri euforia digital membuat banyak orang ingin menampilkan dirinya di media sosial alias show off.
Tak jarang pula perusahaan mendorong para jurnalisnya untuk aktif bermedia sosial demi meningkatkan engagement terhadap pemberitaan.
Pada saat yang sama, kata Manan, hal ini membuat wartawan lebih rentan persekusi.
"Yang agak parah ketika unggah informasi pribadi. Itu jadi salah satu materi persekusi," kata wartawan senior Majalah Tempo ini.
AJI pun mendorong para wartawan untuk memiliki kesadaran berhati-hati menggunakan media sosial.
Selain membatasi membagikan informasi pribadi, kata Manan, jurnalis juga sebaiknya mengatur kata sandi yang tidak mudah diretas.