TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung Republik Indonesia di tahun 1999-2001, Marzuki Darusman berpendapat mengenai penerapan hukuman mati dan hukuman seumur hidup memerlukan political will pemerintah.
Ia menambahkan hukuman ini dapat diterapkan dengan efektif tergantung siapa pemimpinya.
"Jadi ini tergantung kepemimpinan nasional. Kita ini harus memilih pemimpin yang lebih kuat. Yang jelas memang dia kuat untuk memimpin," ujar Marzuki dalam Seminar Nasional 20 Tahun UU 39/1999 tentang HAM, Refleksi dan Proyeksi di Kompleks Parlemen RI Jakarta, Selasa.
Sebelumnya, Marzuki merujuk pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly yang mengatakan jika hukuman mati nanti akan disertai dengan aturan masa 10 tahun jeda, sehingga kalau ada kelakuan baik bisa diubah menjadi hukuman seumur hidup, dan dari hukuman seumur hidup bisa diubah menjadi hukuman 20 tahun. "Tapi hukuman seumur hidup juga hukuman yang sangat kejam, maka harus dicari jalan," ujar Marzuki.
Ia mengatakan hukuman mati dimana pun akan menjadi favorit karena menjadi satu ukuran martabat suatu bangsa. "Hukuman mati dimana-mana kalau kita ambil survei, 70-80 persen setuju hukuman mati diterapkan. Karena hukuman mati itu ukuran martabat suatu bangsa," ujar Marzuki.
Menurut Marzuki, hukuman mati tidak efektif untuk diterapkan. Karena yang dibutuhkan untuk hukuman mati bukan sekedar argumentasi praktis, tapi juga prinsipil. "Kalau dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengakui hak hidup, bahkan negara pun tidak bisa memperlakukan hukuman mati kepada warga negaranya," ujar dia.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan pelaksanaan hukuman mati adalah urusan hakim dan jaksa (yudikatif) dan bukan kewenangan pemerintah (eksekutif).
"Kadang hakim malah mutus bebas, kadangkala hukumannya ringan sekali. Kadang kala sudah ringan, dipotong lagi. Ya sudah itu, urusan pengadilan. Di luar urusan pemerintah," ujar Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam Jakarta, Selasa.
Menurut Mahfud, jika mau itu diterapkan sebenarnya tidak perlu undang-undang baru, karena perangkat hukum yang tersedia sudah ada. Dan pemerintah cukup serius untuk menerapkannya.
"Makanya sudah masuk di undang-undang, artinya pemerintah serius. Itu sudah ada di undang-undang. Tapi kan itu urusan hakim. Saya sendiri setuju hukuman mati untuk koruptor karena itu merusak nadi, aliran darah suatu bangsa," ujar Mahfud.
ANTARA