TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Universtias Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai hukuman mati untuk koruptor kurang tepat. Selain tak menimbulkan efek jera, menurutnya hal tersebut bertentangan dengan konstitusi, meski pun telah diatur oleh Undang-Undang.
"Konstitusi kita bilang, hak untuk hidup itu hak yang tidak bisa dinafikkan dalam keadaan apa pun artinya seharusnya hukuman mati dihindari," kata Fickar saat dihubungi, Selasa 10 November 2019.
Ia mengatakan lebih baik koruptor dihukum dengan pendekatan asset recovery, atau pemiskinan koruptor. Caranya dengan mengembalikan kerugian negara sebesar-besarnya, serta menutup akses terpidana korupsi terhadap dunia ekonomi.
"Tidak boleh punya perusahaan, tidak boleh punya kartu kredit, tidak boleh jadi pimpinan perusahaan, dicabut hak politiknya. Ini akan lebih menjerakan, ketimbang hukuman mati," kata dia.
Hukuman mati untuk koruptor diatur dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun diatur di situ, hukuman mati untuk koruptor dilakukan dalam keadaan tertentu.
Menurut Fickar keadaan tertentu ini bisa dilakukan apabila terpidana merupakan residivis atau mengulang kejahatannya, atau korupsi dilakukan dalam keadaan bencana.
Menurut Jokowi, meski pemerintah dan masyarakat berkeinginan agar koruptor dihukum mati tapi legalisasinya tetap harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Terkait hukuman mati koruptor ini mencuat saat Presiden Jokowi berdialog dengan salah satu siswa SMKN 57 dalam acara #PrestasiTanpaKorupsi dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMKN 57, Jakarta, Senin 9 Desember 2019 kemarin. Siswa itu bertanya alasan Indonesia tidak bisa tegas terhadap koruptor.
"Mengapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas, kenapa gak berani dihukum mati, kenapa kita hanya penjara," kata Harli Hermansyah siswa kelas XII Jurusan Tata Boga.
Jokowi menjelaskan Indonesia tidak bisa menghukum mati koruptor karena tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Menurut dia, ancaman hukuman mati baru bisa diberikan kepada pelaku korupsi yang berkaitan dengan bencana alam
"Kalau korupsi bencana alam dimungkinkan, kalau enggak tidak. Misalnya ada gempa dan tsunami di Aceh atau di NTB, kami ada anggaran untuk penanggulangan bencana tapi duit itu dikorupsi, itu bisa (diancam hukuman mati)," jawab Jokowi.