TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua DPD PA GMNI Jakarta Raya Andre Notohamijoyo menjelaskan bahwa era reformasi turut memberikan andil dalam penyebaran paham radikalisme di Indonesia.
Sebagai gambaran, di 2018, berdasarkan data Badan Intelijen Negara (BIN) ada sekitar 41 dari 100 masjid yang dimiliki oleh kementerian atau lembaga dan BUMN yang terpapar paham radikal.
Andre mengatakan, pada era orde baru, aparatur sipil negara (ASN) memiliki karakteristik yang berbeda dengan era reformasi.
"Ketika era orde baru, ASN mendukung organisasi sosial politik tertentu dan keterlibatan pemerintah dalam memengaruhi mereka untuk mendukung pemerintah," ujar Andre di kantornya, Jakarta Pusat pada Sabtu, 7 Desember 2019.
Sedangkan di era reformasi, kebanyakan ASN tidak mendukung partai politik tertentu serta ada kecenderungan mengikuti menteri atau kepala lembaga yang berasal dari partai politik tertentu.
Lebih lanjut Andre menjelaskan, era reformasi melahirkan politik identitas, di mana hal itu semakin berkembang sejak Pemilu 1999 dan mendorong perkembangan intoleransi dan radikalisme.
"Saat itu ideologi Indonesia diserahkan ke mekanisme pasar bebas. Ketika pancasila keluar dari relung, masuk lah ideologi transnasional," ujar Andre.
Masuknya ideologi selain Pancasila itu, kata Andre, melemahkan kebhinekaan. Apalagi, ditambah dengan pembiaran yang terus menerus, memunculkan kekuatan nyata kelompok intoleran dan radikal di kementerian atau lembaga dan BUMN.
Alhasil, berbagai jabatan strategis seperti komisaris, direksi BUMN hingga menteri yang terafiliasi kelompok radikal menjadi semakin memperkuat politik identitas.
Andre kemudian memberikan contoh nyata perkembangan radikalisme di ASN dan BUMN. Salah satunya adalah penangkapan pegawai PT Krakatau Steel oleh Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri.
"Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan melibatkan lembaga-lembaga seperti Polri, BIN, BSSN, BPIP, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri sejak proses perekrutan pegawai dan pejabat," kata Andre.