TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menepis adanya isu yang menyebut partai berlambang pohon beringin ini sudah tak demokratis lagi dalam pemilihan ketua umum beberapa waktu lalu.
Ia menegaskan segala proses yang terjadi di dalam musyawarah nasional sudah sangat demokratis. "Memang endingnya ditutup dengan musyawarah mufakat. Nah tapi kan musyawarah tidak bisa dikatakan tidak demokratis, semua orang menyampaikan suara dan aspirasi," ujar Ahmad di kawasan Kebun Sirih, Jakarta Pusat pada Sabtu, 7 Desember 2019.
Ahmad pun menyatakan bahwa keputusan musyawarah mufakat itu sengaja dilakukan karena partai trauma akan peristiwa lima tahun lalu. Pada 2015, Golkar sempat diterpa isu pecah karena terbagi menjadi dua kubu yakni kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie.
"Kami trauma dengan peristiwa lima tahun lalu. Pengalaman itu kemudian membangun kesadaran ke seluruh peserta munas agar tidak terulang," kata Ahmad.
Isu tak demokratis itu bergulir ketika rumor adanya intervensi dari Istana Negara yang kemudian diikuti dengan langkah mundur Bambang Soesatyo dari bursa pemilihan calon ketua umum. Ketua Tim Pemenangan Bambang Soesatyo, Taufik Hidayat, menyebut ada tiga menteri mengintervensi munas ini.
Sementara, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto pun membantah ada intervensi dari Istana dalam kontestasi perebutan kursi ketua umum. Ia mengatakan para pemilik suara di munas adalah Dewan Pimpinan Daerah tingkat I dan II Partai Golkar.
"Ini tidak paham apa makna musyawarah nasional. Pemegang suara adalah DPD satu dan dua, jadi jangan keluar konteks munas," kata Airlangga di kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin, 2 Desember 2019. Presiden Joko Widodo atau Jokowi pun sudah membantah tudingan tersebut.