TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meminta Pemerintah untuk tidak terlalu lama memutuskan perpanjangan izin Front Pembela Islam (FPI).
"Tidak tepat caranya dengan menggantung, ditarik ulur. Ada kesan digantung. Ini semakin menguatkan jangan-jangan ada deal politik atau kesepakatan-kesepakatan yang dibangun," kata Koordinator Kontras, Yati Andriyani di kantornya pada Jumat, 6 Desember 2019.
Yati menegaskan, mestinya negara berperan menjadi wasit yang menggunakan mekanisme hukum, koridor hukum, perspektif HAM dan demokrasi dalam diskursus tersebut.
Hal ini khususnya dilakukan agar pemerintah secara jelas dapat menyampaikan temuan-temuan masalah dan kesalahan FPI sebagai organisasi masyarakat. Termasuk indikator dan bukti dugaan dan anggapan bahwa FPI mengusung khilafah dan tidak pancasilais.
Dia menegaskan, pemerintah harus tegas menggunakan jalur hukum dengan menggunakan tahapan dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.
"Diberikan teguran, klarifikasi, keputusan, dan kalau sudah ada keputusan, kalau tidak sepakat, FPI bisa gugat. Keluarkan keputusan, jadi FPI bisa mengajukan keberatan. Itu namanya negara hukum dan menghormati prinsip demokrasi dan HAM," ujarnya.
Yati mengatakan, jika hal ini dibiarkan, pemerintah tak hanya mengabaikan mekanisme hukum, namun menjadikan situasi bias yang mengganggu stabilitas politik dan penegakan hukum.
Selain itu, situasi bias itu menciptakan konflik horizontal di masyarakat. Yati juga khawatir, tarik ulur ini bisa menjadi masalah politik
"Untuk minimalisir agar tidak jadi masalah politik ya enggak usah digantung tetlalu lama. Putuskan saja. Temuan, masalah, kesalahnnya apa. Wasitnya pemerintah. Gunakan mekanisme hukum."