TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang Musyawarah Nasional Partai Golkar pada 4-6 Desember 2019, dua kubu yang memperebutkan kursi ketua umum masih saling serang.
Dua kubu itu adalah kubu inkumben Airlangga Hartarto dan kubu penantangnya yaitu Bambang Soesatyo atau Bamsoet. Kubu Airlangga sejak awal menuding Bamsoet melanggar kesepakatan.
Sebabnya, Airlangga telah memberinya kursi Ketua MPR. "Kesepakatannya, Pak Bamsoet tidak akan maju menjadi caketum Partai Golkar jika sudah ditugaskan sebagai Ketua MPR RI. Itu yang harus digarisbawahi," kata salah satu tim sukses Airlangga, Ace Hasan Syadzili pada Kamis, 21 November 2019.
Bamsoet memang sepakat berdamai setelah diberi kursi ketua MPR. Namun hal itu hanya berlangsung sebentar. Persaingan dua tokoh Golkar itu mencuat lagi setelah pemilihan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
Bamsoet sempat mengatakan ia bersedia jadi Ketua MPR dan tak maju sebagai bakal calon ketua umum Golkar jika jabatan para pendukungnya yang dipecat oleh Airlangga Hartarto dipulihkan. Ia juga meminta para pendukungnya diakomodir dalam penyusunan alat kelengkapan dewan.
Menurut Bamsoet, ternyata Airlangga tak memenuhi janji. Ia mengatakan para pendukungnya digusur habis di alat kelengkapan dewan. Inilah yang memicunya kembali menantang Airlangga di bursa ketua umum.
Serangan demi serangan pun dilancarkan ke Airlangga. Salah satunya adalah soal rangkap jabatan Airlangga Hartarto sebagai ketua umum Golkar, sekaligus Menteri Koordinator di Kabinet Kerja Jokowi.
Menurut Tim Penggalangan Opini dan Media (Tim 9) Bamsoet, Cyrillus Kerong, berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, terdapat larangan untuk menteri merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN/APBD, seperti tercantum dalam Pasal 23 UU tersebut.
"Golkar mendapat Rp 18 miliar per tahun, selama kepemimpinan Airlangga sudah Rp 43 miliar. Kamu tega, pakai yang rakyat tapi melanggar UU," kata Kerong di Restoran Batik Kuring, Jakarta pada Ahad, 1 Desember 2019.
"Kalau Pak Jokowi memperbolehkan rangkap jabatan, silakan saja. Tapi, berarti Pak Jokowi berpotensi melanggar UU juga," kata Kerong.
Tim pemenangan Airlangga Hartarto, Ace Hasan Syadzily meminta kubu Bamsoet berhati-hati membuat pernyataan.
Musababnya, UU Kementerian Negara soal rangkap jabatan ini telah diuji di Mahkamah Konstitusi.
Ace mengatakan pada 2010, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan atau uji materiil UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terkait rangkap jabatan yang diajukan oleh anggota DPR dari Komisi I, Lily Chadidjah Wahid. "Dalam putusannya, menteri boleh merangkap jabatan," kata Ace.
Ia juga heran dengan pernyataan kubu Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang menuntut Airlangga meminta izin tertulis Presiden Joko Widodo atau untuk maju sebagai ketua umum Golkar.
"Di pasal berapa AD/ART Partai Golkar seorang Calon Ketua Umum Partai Golkar harus dapat izin tertulis dari Presiden? Jangan mengada-ada lah," ujar Ace saat dihubungi Tempo pada Ahad, 1 Desember 2019.
Perseteruan dua kubu ini tampaknya terus akan memanas menjelang munas. Pengamat politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro meminta Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto tak memaksakan diri untuk dapat terpilih secara aklamasi di Munas Golkar bulan depan.
Sebagai partai besar dan memiliki banyak sumber daya manusia yang handal, ujar Siti, sudah sepantasnya bila banyak calon yang maju dalam munas.
"Jangan sampai aklamasi, itu bukan demokrasi. Kalau demokratis, ya, mestinya memberikan peluang atau kesempatan bagi kader-kader untuk maju dan meyakinkan para pemilik suara," ujar Siti Zuhro saat ditemui di bilangan Menteng, Jakarta Pusat pada Ahad, 24 November 2019.
BUDIARTI UTAMI PUTRI\DEWI NURITA