TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara, Juanda, mengusulkan adanya referendum atau jajak pendapat terkait wacana amendemen UUD 1945. "Kalau ini akan dilakukan, maka ide yang perlu dilakukan referendum saja. Apakah rakyat setuju perubahan a, b, c," kata Juanda dalam diskusi Polemik di Hotel Ibis, Jakarta, Sabtu, 30 November 2019.
Juanda menjelaskan, referendum perlu dilakukan jika pembahasan amendemen UUD 1945 yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak memperhatikan aspirasi rakyat. "Saya berargumentasi bahwa faktanya kelihatan MPR, di dalamnya DPR, sangat sedikit memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat," katanya.
Menurut Juanda, referendum merupakan mekanisme yang legal secara hukum tata negara. Dalam melakukan amendemen, MPR perlu melakukan mekanisme yang melibatkan rakyat jika perubahan bersifat prinsipil.
"Jangan langsung MPR ada ide dari kelompok ormas ini, langsung ditanggap. Padahal rakyat belum diajak berembuk. Karena ini persoalan yang sangat prinsip dalam negara," ujarnya.
Juanda juga menilai bahwa wacana-wacana yang berkembang dalam amendemen lebih kuat dipengaruhi arus politik. Ia pun meminta MPR untuk mengkaji lebih dalam dan membuka hasil kajiannya kepada publik.
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Nasir Djamil, mengatakan Badan Pengkajian MPR saat ini masih melakukan kajian dan pendalaman mengenai format Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
"Kita butuhkan haluan dalam penegakkan hukum seperti apa, haluan dalam penegakkan HAM seperti apa, haluan terkait kedaulatan pangan seperti apa, kedaulatan ekonomi seperti apa," kata Nasir.
Menurut dia, kajian ini harus disampaikan ke masyarakat agar mereka memahami bahwa perubahan konstitusi bukan berdasarkan firasat dan siasat, tapi berdasarkan akal sehat. Sehingga, GBHN nantinya bisa menjadi induk dari program-program pembangunan pemerintah pusat dan daerah.