TEMPO.CO, Jakarta - Perpanjangan izin organisasi Front Pembela Islam (FPI) kini tengah menuai polemik. Kementerian Agama telah mengeluarkan rekomendasi Surat Keterangan Terdaftar (SKT) atas FPI, namun Kementerian Dalam Negeri meminta Kemenag memastikan ulang pasal-pasal dalam AD/ART FPI yang dinilai masih mengganjal.
FPI pun meradang karena perpanjangan izin mereka terus ditunda-tunda. "Rekomendasi sudah keluar, artinya semua syarat sudah terpenuhi. Tidak ada alasan bagi Kemendagri untuk tidak mengeluarkan SKT. Justru kalau ternyata dihambat, jadi mandek, kami mencurigai ini jadi urusan politis," ujar Jubir FPI, Slamet Ma'arif saat ditemui Tempo di bilangan Senen, Jakarta Pusat pada Jumat, 29 November 2019.
Lalu, bagaimana lika-liku perjalanan FPI selama ini?
Front Pembela Islam bukan organisasi seumur jagung. FPI dibentuk oleh sejumlah ulama dan habaib di Pondok Pesantren Al-Umm, Tangerang, pada Agustus 1998. Sejak awal organisasi ini diduga dekat dengan elit politik dan militer, antara lain Wiranto yang saat itu menjabat Panglima ABRI.
Dugaan tersebut dilandaskan pada aksi FPI pada Juni 2000 yang menggeruduk kantor Komnas HAM di Jakarta. Saat itu mereka menuntut pembubaran Komnas HAM lantaran mengajukan pemeriksaan terhadap Wiranto atas dugaan keterlibatan dalam pelanggaran HAM berat, antara lain tragedi Mei 1998 dan Timor Leste.
Sejak saat itu FPI selalu aktif mengawal politik Senayan dari jalanan. Peran tersebut baru menyusut usai Pilkada DKI Jakarta 2017, ketika Rizieq Shihab pergi ke Arab Saudi. Saat ini FPI bergabung dengan sejumlah organisasi lain dalam gerakan 212 untuk menyuarakan aspirasi politiknya.
Dalam perjalanannya, banyak pihak yang menyuarakan pembubaran FPI. Pada 2008, elemen-elemen yang bernaung dalam organisasi massa Nahdlatul Ulama mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membubarkan dan melarang FPI, termasuk segala penjelmaannya.
Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU Jatim kala itu, KH Miftachul Akhyar meminta pembubaran FPI karena sudah berulang kali melakukan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan pendapat.
Pada 2014 silam, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok juga pernah mengirimkan surat permohonan pembubaran FPI ke Kementerian Hukum. Dalam surat itu, Ahok menyampaikan alasan pembubaran FPI, karena kerap melakukan tindakan anarkistis dan menebar kebencian dengan menghalang-halangi pelantikan gubernur.
"Prinsip saya, semua ormas yang berlaku anarkistis dan ingin mengubah undang-undang dan Pancasila harus dibubarkan," kata Ahok di Balai Kota Jakarta, Senin, 6 Oktober 2014.
Namun, usaha Ahok gagal. Malah dia yang terjeblos ke penjara gara-gara tersandung kasus penistaan agama.
Pada Januari 2017, Sukmawati Soekarnoputri memimpin orasi mendesak pembubaran FPI dan organisasi intoleran lainnya di Gedung Sate Bandung, Jawa Barat. “Siapa yang menyebarkan benci, dia akan mendapatkan kebencian itu juga,” kata Sukmawati, Kamis, 19 Januari 2017.
Namun, hingga kini FPI masih tetap eksis dan ikut bergabung dalam gerakan reuni 212 yang akan digelar pada 2 Desember 2019. Dalam acara tersebut, mereka membawa beberapa isu, salah satunya menuntut Sukmawati dipenjarakan karena dianggap menistakan agama karena membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan Soekarno.