TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faisal Zaini menjelaskan soal usulan organisasinya yang ingin presiden dipilih lagi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). PBNU berkaca pada pemilihan presiden 2019 yang dianggap melahirkan sejumlah persoalan.
"Bisa kita rasakan di rumah masing-masing betapa pilpres itu telah melahirkan suatu ketegangan baik antarkeluarga, antar-RT, antar-RW, korban yang ditimbulkan juga tidak sedikit, ada yang meninggal," kata Helmy saat dihubungi Tempo, Jumat, 29 November 2019.
Selain itu, ada ongkos sosial yang dibayar mahal saat Pilpres 2019 berlangsung. "Ada upaya-upaya apa yang disebut sebagai menguatnya politik identitas atas nama agama yang diintrodusir di dalam politik. Ini, kan, berbahaya," ucap Helmy.
Helmy menjelaskan PBNU memilih untuk bersikap mementingkan menolak kerusakan ketimbang memetik manfaat atau dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil masholih. Nilai ini merujuk hasil Munas PBNU 2012 yang saat itu juga menyoroti pemilihan kepala daerah.
"Sebenarnya hasil munas 2012 titik tekannya pada Pemilukada. (Sedangkan) yang disampaikan Kiai Said (Said Aqil Siradj) ini sebetulnya menghimpun masukan dengan titik pijak pilpres 2019 yang melahirkan persoalan. Semacam evaluasi dari Kiai Said," ujarnya.
Menurut Helmy, dari segi prosedur, model one man one vote mungkin dianggap lebih berdaulat. Namun ia mengusulkan Indonesia mengadopsi sistem pemilihan presiden di Amerika Serikat, yakni model electoral college.
"Jadi kekhawatiran di dalam konstelasi 2019 yang sampai sekarang menyisakan suatu ketegangan yang belum selesai itu yang menjadi kekhawatiran. Kalau pola ini terus menerus menjadi pola ini, kan, berbahaya bagi politik masyarakat," katanya.