TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberikan tiga catatan penting kepada Presiden Joko Widodo. Catatan ini merupakan masukan untuk mendorong dan mengevaluasi program Pemerintah di bidang penegakan HAM.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, pertama adalah agenda penyelesaian 11 kasus pelanggaran HAM berat yang berkasnya telah dilimpahkan oleh Komnas HAM ke Kejaksaan Agung.
Kasus itu adalah peristiwa 1965/1966, Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Penghilangan Paksa Aktivis tahun 1997-1998, Trisakti, Semanggi I dan ll tahun 1998, Talangsari tahun 1989, Kerusuhan Mei 1998, dan Wasior Wamena 2000 2003. Ada pula pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Jambu Keupok Aceh, Rumoh Geudong, Pos Sattis, hingga Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh).
"Sampai saat ini belum ada langkah konkret dari Jaksa Agung untuk menindaklanjutinya ke tahap penyidikan dan penuntutan sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadllan HAM," kata Taufan di kantornya pada Kamis, 28 November 2019.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa penyidikan wajib diselesaikan dalam waktu 90 hari sejak dinyatakan lengkap oleh penyidik. "Ketidakjelasan atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan," ujarnya.
Kedua, penanganan konflik sumber daya alam (SDA) masih menjadi pengaduan yang banyak kepada Komnas HAM. Beberapa tahun lalu konflik SDA hanya didominasi pada isu perkebunan, pertambangan dan kehutanan saja. Namun, seiring dengan pembangunan infrastruktur yang gencar dilaksanakan oleh pemerintah, beberapa tahun terakhir banyak pengaduan terkait pembangunan infrastruktur. "Terdiri dari pembangunan jalan tol, revitalisasi jalur dan stasiun kereta api, pembangunan bandar udara, dan pembangunan waduk," katanya.
Ketiga, taufan mengatakan masih maraknya kasus intoleransi dan pelanggaran hak kebebasan berekspresi. Upaya hukum yang dilakukan dalam setiap peristiwa intoleransi tidak pernah menyeret aktor pelaku utamanya ke pengadilan. Atau apabila aktor tersebut dibawa ke pengadilan, vonis hukumannya cukup ringan.
Selain itu, dalam waktu yang sama muncul tindakan-tindakan persekusi yang dilakukan oleh berbagai ormas atau kelompok massa. Seakan persekusi tersebut terjadi karena adanya perbedaan pandangan. "Media sosial digunakan sebagai sarana yang ampuh untuk melakukan mobilisasi massa untuk melakukan persekusi," katanya.
Untuk itu, Taufan menegaskan Pemerintah seharusnya menetapkan skala prioritas dalam penyelesaiannya. Hal ini perlu dilakukan sebagai wujud pelaksanaan amanah konstitusi UUD 1945. "Dalam rangka penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia," katanya.