TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Hukum DPR mempersoalkan penetapan tersangka RJ Lino oleh KPK. DPR menuding ada malpraktek dalam penetapan mantan Dirut Pelindo itu.
"Sejak zaman pemimpin KPK generasi pertama, kami di tempat ini juga, meminta jangan sekali-kali KPK menetapkan seseorang menjadi tersangka, bila buktinya belum lengkap betul,” kata Benny pada rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 27 November 2019.
Benny menyebut DPR berkali-kali mengingatkan agar KPK tidak asal menetapkan orang sebagai tersangka. Sebab, lembaga antikorupsi ini tidak punya kewenangan menerbitkan SP3. Namun, kata dia, Komisi III menemukan beberapa kasus yang mandek, karena tidak cukup bukti. Salah satunya perkara RJ Lino.
“Tadi pimpinan KPK mengatakan alat bukti tidak lengkap, kok baru sekarang dikatakan belum lengkap, berarti ada malpraktek dong,” kata Benny.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan ketika pimpinan KPK periode 2011-2015 menetapkan RJ Lino sebagai tersangka, lembaga ini sudah mengantongi alat bukti yang cukup. Hanya saja terganjal oleh penghitungan kerugian negara.
“Apakah, pimpinan (KPK) sebelumnya sudah menetapkan Pak RJ Lino itu belum ada dua alat bukti? Saya katakan sudah ada. Tetapi ketika Jaksa mau masuk ke pengadilan dia harus menghitung secara pasti berapa yang paling eksak kerugian negaranya, di situlah kita minta BPKP,” kata dia.
Syarif mengatakan BPKP belum juga menghitung kerugian negara tersebut. Maka kasusnya tersendat. Namun, saat pimpinan KPK periode 2015-2019 masuk mereka mengalihkan tugas penghitungan itu ke BPK.
Namun, kata dia, ada halangan lain yang membuat penghitungan ini mandek. Pertama karena tidak adanya dokumen pembanding. Kedua, pemerintah Cina tidak kooperatif memberikan dokumen tersebut.
KPK menetapkan RJ Lino sebagai tersangka kasus korupsi dalam pengadaan tiga QCC oleh PT Pelindo II sejak Desember 2015. KPK menduga RJ Lino menyalahgunakan wewenangnya sebagai direktur utama dengan menunjuk langsung PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery dari Cina sebagai penyedia tiga unit crane itu di Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak.
Penyidik berpendapat pengadaan itu tidak disesuaikan dengan persiapan infrastruktur yang memadai sehingga menimbulkan inefisiensi. Sampai saat ini RJ Lino belum ditahan dan diadili. Dalam sejumlah kesempatan, RJ Lino membantah telah merugikan negara dalam pengadaan QCC di badan usaha milik negara (BUMN) tersebut.