TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic, and Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun menilai grasi Presiden Joko Widodo atau Jokowi kepada terpidana korupsi mantan Gubernur Riau, Annas Maamun, memperburuk citra Jokowi terhadap semangat antikorupsi.
“Ini bisa menjadi musibah untuk Jokowi di tengah citranya yang terus memburuk terkait pembiaran pelemahan KPK,” kata Ubedilah dalam keterangan tertulis, Rabu 27 November 2019.
Ia mengatakan secara konstitusional dan regulatif, grasi yang diberikan Presiden terhadap terpidana itu dibolehkan karena alasan kemanusiaan. Namun, secara etik politik grasi untuk koruptor itu menodai rasa keadilan masyarakat. Sebab korupsi dengan nilai miliaran itu merugikan rakyat banyak.
Ukuran alasan kemanusiaan dalam pasal 6A ayat 1 dan 2, UU Nomor 5 tahun 2010 juga sebetulnya kurang jelas dan tidak detail, memungkinkan kuatnya tafsir sepihak kekuasaan.
Proses grasi yang biasanya dengan atas nama kepentingan kemanusiaan itu dilakukan melalui penelitian oleh Menteri Hukum dan HAM. Selanjutnya presiden dapat memberikan grasi setelah memperhatikan pertimbangan hukum tertulis dari Mahkamah Agung dan Menteri Hukum dan HAM.
“Nah pertimbangan MA dan Menkumham ini celah tafsir sepihak dari penguasa,” ucap dia.
Menurutnya secara kemanusiaan sebenarnya jika alasanya karena sakit, solusi terbaiknya bukan grasi, tetapi pemerintah terutama Lembaga Pemasyarakatan (LP) harus memberikan pelayanan kepada narapidana untuk ditangani secara serius kesehatannya bekerjasama dengan rumah sakit terbaik atau dokter terbaik.
Jokowi sebelumnya memangkas hukuman Annas dari tujuh tahun penjara menjadi enam tahun penjara. Hal ini tertuang dalam Keputusan Presiden nomor 23/G tahun 2019 tentang pemberian grasi tanggal 25 Oktober 2019.