TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan sedang mengkaji opsi-opsi sebagai solusi atas evaluasi pemilihan kepala daerah atau pilkada langsung. Opsi-opsi yang disebut Tito, antara lain tetap menjalankan pilkada langsung dengan meminimalisir efek negatifnya, pilkada kembali ke DPRD, atau pilkada asimetris.
"Saya tidak mengatakan mana yang paling baik, tapi kami akan melakukan kajian akademik," ujar Tito dalam rapat bersama Komite I DPD di Kompleks DPR RI, Jakarta, Senin, 18 November 2019.
Dalam jajak pendapat yang digelar tempo.co, langkah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengkaji ulang pemilihan kepala daerah secara langsung cukup mendapat perhatian besar pembaca. Pembaca umumnya terbelah atas rencana tersebut.
Pada jajak pendapat yang berlangsung pada 11-25 November 2019 tersebut, ada 968 pembaca tempo.co yang memberikan suara mereka terhadap persoalan ini. Sebanyak 388 orang (50,41 persen) tidak setuju dengan rencana kaji ulang pilkada langsung.
Sementara 457 orang (47,21 persen) setuju dengan rencana kaji ulang pemilihan kepala daerah secara langsung, sedangkan sisanya sebanyak 23 orang (2,38 persen) mengaku tidak tahu.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai para elite politik seakan-akan menyalahkan masyarakat atas tingginya biaya pilkada langsung. "Wacana pilkada tak langsung ini seolah-olah menyalahkan rakyat untuk sesuatu yang rusak di republik ini," kata Lucius.
Dia menilai uang yang diberikan kepada rakyat tak seberapa, hanya kisaran puluhan ribu saja. "Biaya politik tinggi itu seolah-olah menyalahkan uang Rp 10 ribu, Rp 50 ribu yang diberikan kepada pemilih," ujarnya.
Menurutnya, biaya politik paling tinggi justru untuk mahar politik yang diberikan para calon kepada partai-partai politik yang mengusungnya. Lucius menyebut mahar politik ini sangat menyedot kantong para calon, tak ada harga pasaran yang jelas, dan sangat fluktuatif dalam waktu singkat.
Lucius menilai justru lebih banyak uang yang dihabiskan jika sistem pilkada diubah menjadi tidak langsung. Pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah justru akan lebih tertutup dan mengandalkan orang berduit untuk bisa maju. "Dengan situasi parpol yang makin malas melakukan kaderisasi, lalu akhirnya memungut orang-orang yang punya potensi untuk diusung jadi calon kepala daerah," kata dia.
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan kubu Muktamar Jakarta Humphrey Djemat menolak kembalinya sistem pilkada tak langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Humphrey menilai sistem pilkada lewat DPRD tak akan memunculkan figur-figur seperti Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Joko Widodo atau Jokowi, dan Tri Rismaharini yang dinilainya berkualitas.
"Seorang Ahok tidak akan muncul kalau tidak ada pilkada langsung, termasuk juga Presiden Jokowi, Ibu Risma, dan dalam perjalanannya kita akan lihat Ridwan Kamil," kata Humphrey.
Menurut Humphrey, figur-figur berkualitas dan berintegritas tak akan muncul jika pilkada dilakukan oleh DPRD. Sebab, proses pemilihan akan sangat ditentukan oleh oligarki partai politik. Humphrey juga menilai sistem pilkada tak langsung ibarat barang busuk jika digunakan lagi. "Kalau dulu sudah dicoba, sekarang kemudian dilakukan dengan pilkada langsung, sekarang mau kembali, ya pakai barang busuk lagi sebenarnya," kata dia.
Humphrey mengatakan yang perlu dibenahi sebenarnya adalah sistem partai politik. Dia menyoal maraknya mahar politik yang kerap terjadi dalam pencalonan kepala daerah. Jika partai politik ini tak dibenahi, dia memprediksi sulit terjadi perubahan di Indonesia.