TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak memikirkan soal wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga kali. Menurut dia, Jokowi bakal taat pada peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku.
"Sampai hari ini presiden sama sekali tidak berpikir itu dan ini juga kalau dibiarkan menjadi kontra produktif," kata Pramono saat ditemui di ruang kerjanya, Kompleks Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Senin, 25 November 2019.
Menurut Pramono, rencana amendemen Undang-Undang Dasar 1945 seperti membuka kotak pandora. Selain rencana menghidupkan kembali GBHN, muncul pula wacana menambah masa jabatan presiden.
Meski begitu Pramono meyakini Jokowi tidak setuju masa jabatan presiden ditambah. "Beliau adalah presiden yang dilahirkan oleh reformasi, sehingga beliau akan taat dan patuh kepada apa yang sudah ada. Bahkan partai-partai pun termasuk partai besar mereka beranggapan bahwa gagasan ini terlalu mengada-ada," ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan ada wacana amendemen UUD 1945 untuk menambah masa jabatan presiden di MPR. Selain periode 3x5 tahun, ada pula yang mengusulkan perubahan 1x8 tahun.
"Ya, itu kan baru wacana ya. Ada juga wacana yang lain," kata Arsul di Kompleks DPR RI, Jakarta, Kamis, pekan lalu.
Arsul awalnya masih enggan menegaskan siapa pengusul wacana ini. Namun belakangan, ia mengatakan usulan ini muncul dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi NasDem. Arsul mengaku tak mengingat pasti siapa sosoknya.
Usul perubahan wacana ini sebenarnya bukan baru ramai belakangan ini saja. Awal Oktober lalu, Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) MPR Johnny G. Plate, sudah mengeluarkan wacana ini. Ia mengatakan perpanjangan masa jabatan bertujuan demi konsistensi pembangunan.