TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Hukum (Komisi III) Dewan Perwakilan Rakyat mencecar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT ihwal deteksi dini terorisme. Komisi Hukum menilai deteksi dini tak maksimal lantaran masih banyak terjadi aksi teror di Indonesia.
"Selama ini yang keliatan oleh masyarakat kan tiba-tiba ada teror di sini teror di sana. Ini BNPT bagaimana deteksi dininya?" kata Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Adies Kadir dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 21 November 2019.
Adies mempertanyakan mekanisme pencegahan yang dilakukan BNPT. Dia menyinggung peristiwa penusukan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto di Pandeglang, Banten, beberapa waktu lalu.
Padahal, Badan Intelijen Negara menyatakan sudah mengamati terduga pelaku sejak tiga bulan sebelumnya.
"Kenapa harus bunyi dulu baru dikejar? Tunggu korban dulu? Kenapa kok harus ada korban dulu?" ujar politikus Golkar ini.
Adies juga menanyakan hasil kerja sama BNPT dengan berbagai kementerian, lembaga, dan institusi lainnya. Sebab BNPT mengatakan sudah membuat nota kesepahaman atau memorandum of understanding dalam rangka pencegahan radikalisme dan terorisme.
Menanggapi hal ini, Kepala BNPT Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengatakan bahwa terduga teroris selalu bergerak dengan modus klandestin dan berubah-ubah. Dia mengklaim, pihaknya sudah melakukan pemetaan dini dan berkoordinasi dengan aparat hukum dalam melakukan penindakan.
Suhardi juga mengaku memerintahkan anak buahnya untuk turun ke lapangan setiap kali ada potensi kejadian terorisme. Namun di sisi lain dia juga mengeluhkan terbatasnya jumlah personel BNPT yang hanya sekitar 800 orang plus satuan tugas-satuan tugas.
"Saya katakan begitu ada potensi turun secara fisik melihat itu," kata Suhardi.