TEMPO.CO, Jakarta - Komisi V DPR RI kompak menyebut pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal desa fiktif, meresahkan publik. Untuk itu, DPR mendesak Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes-PDTT) Abdul Halim Iskandar segera berbicara meluruskan persoalan tersebut.
"Pak Menteri harus ngomong, dong. Apa yang disampaikan Menkeu itu kan bikin baper. Mana ada desa fiktif, apalagi desa siluman," ujar Herson Mayulu, anggota Komisi V dari Fraksi PDI Perjuangan,
saat rapat kerja bersama Menteri Desa-PDTT di Kompleks Parlemen, Senayan pada Selasa, 19 November 2019.
Anggota DPR lainnya juga mengatakan hal serupa. "Saya sedikit terganggu dengan berita baru-baru ini, adanya desa fiktif atau desa siluman yang disampaikan Menkeu. Kemendes jangan hanya fokus anggaran, tapi fokus kepada kebijakan juga," ujar Ridwan, Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Demokrat.
Dugaan adanya desa siluman disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama antara Komisi Keuangan DPR, Senin pekan lalu. Dalam rapat itu, Sri Mulyani mengungkap bahwa ada laporan terkait desa fiktif tersebut. Dia mengatakan desa tersebut mendapat jatah dana desa, namun nyatanya tak berpenduduk.
Desa fiktif tersebut diduga muncul dengan modus supaya ada pihak yang bisa mendapat bagian dengan memanfaatkan dana desa. Menurut Sri, modus ini bisa muncul karena tugas pemerintah yang hanya menyalurkan dana desa ke Kepala Desa tanpa peninjauan lebih ketat. Untuk itu, Sri Mulyani akan menggelar investigasi.
Pernyataan itu kemudian ramai di masyarakat dan viral di media sosial. Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, Nata Irawan meminta penyebutan istilah desa fiktif harus dihilangkan dan diganti dengan tidak jalannya kelembagaan desa karena adanya Perda yang cacat hukum.
“Ada kesalahan dalam penetapan Perda pembentukan dan pendefinitifan desa wilayah Kabupaten Konawe sehingga kami meminta agar pemerintah Kabupaten Konawe melakukan evaluasi Perda," kata Nata lewat keterangan tertulis pada Senin, 18 November 2019.
Nata menambahkan, penetapan Perda Nomor 7 Tahun 2011 tentang Perubahan Perda Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan desa- desa dalam Wilayah Kabupaten Konawe tidak melalui mekanisme dan tahapan di DPRD. Kesalahan prosedur tersebut menyebabkan 56 desa yang tercantum dalam Perda secara yuridis dikatakan cacat hukum dan menyebabkan kelembagaan desa tidak berjalan.
Lebih lanjut, Nata menjelaskan bahwa dari total 56 desa yang tercantum dalam Perda, setelah dilakukan verifikasi dari Tim Kemendagri, 34 Desa dinyatakan memenuhi syarat ditetapkan menjadi desa sedangkan 18 Desa masih perlu pembenahan administrasi serta 4 desa terdapat perbedaan data jumlah penduduk dan luas wilayah sehingga perlu dievaluasi.
Berdasar informasi yang didapatkan oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dana desa telah disalurkan kepada 4 desa tersebut. “Karena diduga bermasalah dan berpotensi menimbulkan kerugian negara maka untuk sementara dana desa dihentikan penyalurannya," ujar Nata.