TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) mesti dibahas secara partisipatif, bukan sosialisasi.
Bivitri menjelaskan, berdasarkan pendekatan prosedur pembentukan peraturan Perundang-undangan menurut UU 12 tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU 15 tahun 2019, RKUHP tak lagi melalui proses penyusunan, melainkan langsung masuk pembahasan.
Baca juga:
"Bisa saja nanti disepakati tidak dari nol, tetapi bahkan untuk menyepakati itu pun, harus melalui proses pembahasan yang partisipatif. Tetapi waktu pembahasan harus cukup untuk partisipasi, bukan sosialisasi," kata Bivitri dalam diskusi bertajuk RKUHP: Periode Baru, Bahas dengan Pendekatan Baru di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 17 November 2019.
Bivitri menjelaskan, model pembentukan peraturan perundang-undangan secara partisipatif dan transparan antara lain dengan mengundang siapapun pemangku kepentingan, dan proses pembahasannya dalam konteks partisipasi dan transparansi.
"Jadi, bukan hanya ahli, tetapi memang pemangku kepentingan, utamanya kelompok masyarakat yang terkena dampak pasal-pasal tertentu," kata dia.
Menurut Bivitri, dalam pembahasan rancangan undang-undang, dampak pasal-pasal itu tidak bisa diukur hanya dengan membaca teks, namun ada potensi dampak yang tidak bisa diukur. "Tetapi setelah ada diskusi dengan orang yang terkena dampak," ujar Bivitri.
Dia menegaskan, mekanisme partisipatif itu bisa dilakukan melalui simulasi yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan secara transparan. "Jadi harus jelas, misalnya mengapa masukan dari aliansi masyarakat adat nanti ditolak. Ada akuntabilitas kepada kita sebagai orang-orang yang diwakili," ujar Bivitri.