TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PPP, Arwani Thomafi menilai pelaksanaan pemilihan kepala daerah atau Pilkada langsung selama ini tidak mewujudkan kedaulatan rakyat namun cenderung mencerminkan kedaulatan modal. Ia menghitung-hitung dana yang diperlukan untuk mengongkosi pemilihan kepala daerah, misalnya.
Di tingkat kabupaten, untuk daftar pemilih tetap (DPT) dengan sekitar 500 ribu nama calon pemilih menghabiskan Rp 20 miliar. “Kalau lebih dari itu, misalnya satu juta, ya tinggal mengalikan saja," kata Arwani dalam diskusi di Kompleks DPR RI, Jakarta, Kamis, 14 November 2019.
Sejak 2014, kata Arwani, ketika pembahasan UU Pilkada, PPP sependapat dengan pemerintah saat itu bahwa pelaksanaan Pilkada langsung lebih banyak kerugiannya. Evaluasi Pilkada wajib dilakukan terhadap beban anggaran, desain tahapan Pilkada, sehingga dapat mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat.
Ia mengatakan Pilkada langsung bukan berarti tidak ada kelebihannya. Namun antara kelebihan dan kerugian, itu lebih banyak kerugiannya. “Pada saat itu, didasarkan atas kajian yang obyektif, bukan pendapat masing-masing parpol semata." Jika sebuah sistem sudah kebablasan dan terlalu jauh maka lebih baik dihentikan serta dilakukan evaluasi.
Dia meminta masyarakat jangan alergi untuk mendiskusikan evaluasi apakah akan menggunakan sistem pilkada langsung atau tidak langsung. "Kalau ada ruang diskusi, kita diskusikan, sebenarnya yang paling pas itu apa," katanya.