Wacana pilkada tak langsung ini sebenarnya pernah hampir diberlakukan di masa Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). DPR RI kala itu mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur pelaksanaan pilkada tidak langsung oleh DPRD.
Ada pula UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tugas dan wewenang DPRD provinsi untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada presiden melalui menteri dalam negeri, untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian.
UU itu juga memberi tugas dan wewenang kepada DPRD kabupaten/kota untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota dan/atau wakil bupati/wakil wali kota kepada menteri dalam negeri melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian.
Menuai banyak kritik, SBY merespons dengan menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu). Yaitu Perpu Nomor 1 Tahun 2014 yang sekaligus mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014. Adapun berikutnya Perpu Nomor 2 Tahun 2014 yang berisi perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014. Pilkada tak langsung pun urung berlaku.
Pernyataan Mendagri Tito itu pun menuai kritik lantaran ditengarai ingin menghapus sistem pilkada langsung. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan evaluasi pilkada memang diperlukan, tetapi harus komprehensif dan partisipatif.
"Kalau problematika politik biaya tinggi, konklusinya jangan melompat menjadi mempertanyakan eksistensi pilkada langsungnya," kata Titi kepada Tempo pada Kamis, 7 November 2019.
Titi mengatakan, solusi yang bisa ditawarkan misalnya pembatasan belanja kampanye, pembenahan akuntabilitas dana kampanye dengan skema yang bisa memberi efek jera pada paslon yang melanggar, penegakan hukum atas politik uang yang lebih tegas, pemberantasan praktik mahar politik, serta memberi ruang keterlibatan PPATK dan KPK dalam pencegahan dan penindakan korupsi politik.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandez menilai wacana pilkada tak langsung yang kembali dimunculkan ini bisa merusak kualitas demokrasi di Indonesia. Selain itu, sistem tak langsung ini juga akan merugikan partai menengah dan kecil.