TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, menilai peluncuran situs pelaporan aparatur sipil negara atau ASN yang diduga terpapar radikalisme oleh pemerintah berbahaya. Menurutnya situs ini berpotensi melanggar hak untuk berpendapat dan berekspresi.
“Ya jelas ini berbahaya, melanggar hak untuk berpendapat dan berekspresi,” kata Ismail saat dihubungi, Selasa 14 November 2019.
Ismail menyebut seharusnya pemerintah fokus membenahi internal. Jangan mengekspose langkah-langkah yang bisa jadi kontraproduktif, dan bertentangan dengan kebebasan bereskpresi dan berpendapat.
Pemerintah pun, kata dia, hingga hari ini belum mempunyai kerangka yang jelas soal indikator radikalisme dan intoleransi. Sejauh ini menurutnya hanya tindak pidana terorisme saja yang memiliki dasar yang jelas dan sudah berdasar Undang-Undang.
“Pemerintah belum punya framework, khususnya di dalam kerangka demokratis dan berparadigma hak asasi manusia,” ujar dia.
Hal ini menurutnya bisa makin runyam, apabila tiap institusi pemerintah memiliki situs aduan serupa. Namun tanpa panduan yang jelas. “Lembaga pemerintah atau kementerian, banyak yang memiliki situs aduan semacam ini. Tetapi tidak dikelola dengan baik,” kata Ismail.
Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Dwi Wahyu Atmaji mengatakan pemerintah tetap akan menjamin kebebasan berpikir dan berbicara ASN, dengan menyediakan ruang membela diri bagi mereka yang diadukan terpapar radikalisme.
“Ya kami kan ada mekanisme membela diri dan lain-lain. Sehingga tidak semata-mata langsung kami berikan sanksi,” kata Dwi ditemui di Hotel Grand Sahid, Selasa 12 November 2019.