INFO NASIONAL — Setahun sejak pertemuan bilateral Indonesia dan Laos pada 13 Oktober 2018 saat ASEAN Law Ministers Meeting ke-10 di Vientiane, akhirnya disepakati Memorandum of Cooperation (MoC) antara Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia dan Kementerian Kehakiman Republik Demokratik Rakyat Laos pada 4 November 2019, di Jakarta. Pada penandatanganan MoC tersebut, Indonesia diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly sedangkan Laos diwakili oleh Menteri Kehakiman, Saysy Santyvong.
MoC dilanjutkan dengan kegiatan Joint Capacity Building and Training yang diselenggarakan dua hari pada 4-5 November 2019 di Gran Melia Hotel Jakarta. Kegiatan tersebut mengangkat isu-isu mengenai Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA), ekstradisi dan penanganan gugatan di forum arbitrase internasional. Peserta dalam Joint Capacity Building and Training ini terdiri dari 20 (dua puluh) pejabat Indonesia yang berasal dari Kemenkumham, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kementerian Luar Negeri. Sedangkan, dari pihak Laos diikuti oleh 20 (dua puluh) pejabat dari Kementerian Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, dan Kementerian Luar Negeri Laos.
Baca juga:
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, dalam sambutannya menyatakan bahwa MoC akan menjadi tonggak sejarah untuk kerja sama kita ke depannya, terutama dalam joint capacity building, dan dapat diperluas ke bidang hukum lainnya termasuk pengembangan sistem hukum, institusi dan legislasi dalam rangka memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kedua negara.
Selain itu, penandatanganan MoC ini dapat memberikan kerangka hukum untuk kerja sama dalam rangka pertukaran pengalaman, informasi mengenai sistem hukum, pertukaran ahli, serta berbagi informasi dan penelitian terkait hukum. “Laos dan Indonesia juga sepakat untuk segera memulai pembahasan draft ASEAN Extradition Treaty sebagai dasar hukum bagi negara-negara di kawasan ASEAN untuk memaksimalkan kerja sama penegakan hukum khususnya untuk mengekstradisi pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke negara tetangga,” kata Yasonna.
Negara-negara ASEAN telah menyepakati dua kerangka kerja sama hukum yang besar yaitu Model ASEAN Extradition Treaty (MAET) dan ASEAN Mutual Legal Assistance Treaty (MLAT). Pencapaian luar biasa ini dihasilkan dari konsensus negara-negara anggota ASEAN.
Baca juga:
"Melalui pencapaian ini, negosiasi Perjanjian Ekstradisi ASEAN ke depan akan dilaksanakan di bawah naungan ASEAN Senior Law Officials Meeting (ASLOM)," katanya. Model perjanjian tentang ekstradisi negara ASEAN akan menjadi instrumen penting bagi kerja sama internasional dalam masalah pidana. “Struktur dan ketentuan perjanjian ekstradisi tersebut merupakan hasil dari penilaian yang cermat terhadap kebutuhan serta kesulitan negara dalam prosedur ekstradisi,” ujarnya.
Jalinan kerja sama ini diyakini akan memiliki keuntungan bagi kedua negara. Saat ini terdapat tiga warga negara Indonesia (WNI) yang sedang menjalani proses hukum di Laos dengan ancaman hukuman mati terkait kasus narkoba yang terjadi pada tahun 2013 dan 2018. “Dalam rangka perlindungan terhadap ketiga WNI tersebut, Pemerintah Indonesia mengajukan permohonan kiranya Menteri Kehakiman Laos dapat memberikan keringanan hukuman bagi ketiga WNI tersebut dan mendiskusikan mengenai kemungkinan untuk melanjutkan sisa hukumannya di Indonesia,” ujar Yasonna di hadapan media.
Yasonna menjelaskan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Laos telah terjalin sejak 30 Agustus 1957 dengan kantor yang dioperasikan dari Bangkok. Pada tahun 1962, hubungan kedua negara ditingkatkan pada tingkat kedutaan dan pada tahun 1965, Indonesia resmi membuka Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Vientiane. “Hubungan bilateral Indonesia-Laos sudah terjalin erat dalam bidang politik, sosial budaya, ekonomi dan konsuler," ujarnya.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU), Cahyo R. Muzhar, menambahkan, MoC Indonesia dengan Laos merupakan salah satu langkah untuk memperkuat networking dalam upaya mencegah dan memerangi kejahatan lintas negara di kawasan ASEAN. “Memerangi kejahatan lintas negara tidak bisa ditangani secara mandiri tanpa dukungan bersama dari semua negara anggota ASEAN,” ujar Cahyo.
“Indonesia serta Laos memiliki persepsi yang sama dalam mengembangkan kerja sama, khususnya dalam memperkuat supremasi hukum, sistem hukum dan infrastruktur hukum," kata Cahyo. "Tidak hanya yang bersifat kohesif secara politik, terintegrasi secara ekonomi dan bertanggung jawab secara sosial, tetapi juga berorientasi pada kepentingan publik serta berbasis aturan menuju Cetak Biru Komunitas Politik Keamanan ASEAN 2025," ucapnya. Ini pertama kalinya diselenggarakan Joint Capacity Building and Training di ASEAN, dengan menghadirkan narasumber yang kompeten serta melibatkan perwakilan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Kepolisian, Kementerian Luar Negeri, dan KPK.
Sementara itu, Menteri Kehakiman Laos menyampaikan apresiasi atas ditandatanganinya MoC dan penyelenggaraan pelatihan oleh Pemerintah Indonesia. Pihak Laos juga mengundang Pemerintah Indonesia untuk memberikan bimbingan teknis di negaranya, sehingga jumlah peserta dapat ditingkatkan.
Lao People’s Democratic Republic atau Republik Demokratik Rakyat Laos berdiri pada 19 Juli 1949 dan merupakan negara dengan sistem partai tunggal. Sistem pemerintahan Laos adalah Kabinet Parlementer dengan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Pemerintah Laos saat ini dipimpin oleh Presiden Bounnhang Vorachith sebagai kepala negara dan Perdana Menteri Thongloun Sisoulith sebagai kepala pemerintahan. (*)