TEMPO.CO, Jakarta- Indonesia Police Watch mempertanyakan posisi Kepala Badan Reserse Kriminal atau Kabareskrim Polri yang hingga kini masih kosong. Padahal pada 8 November 2019, Markas Besar Kepolisian RI merotasi 206 anggotanya, namun tak muncul juga nama yang mengisi posisi Kepala Bareskrim.
"Kami menilai mutasi kali ini terlihat sangat aneh. Posisi Kabareskrim yang vital justru belum diisi. Justru yang dimutasi sejumlah posisi yg sesungguhnya belum begitu mendesak," kata Ketua Presidium IPW Neta S. Pane melalui keterangan tertulis, Sabtu malam, 9 November 2019.
Neta menilai ada empat fenomena yang patut dicermati dalam perkembangan dinamika di tubuh Polri. Pertama, adanya tarik menarik yang kuat menyangkut posisi Kabareskrim. Ia bahkan menyebut bahwa ada indikasi intervensi jalur kekuasaan untuk mendudukkan figur tertentu.
Tarik menarik ini, kata dia, membuat penunjukan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri berjalan alot. "Sementara internal menilai figur tersebut masih sangat junior dan menginginkan tampilnya figur senior," ucap Neta.
Fenomena medua adalah Kapolri Jenderal Idham Azis mulai menunjukkan kekuatannya dengan menempatkan 'pendukung'nya. Neta menyebut nama Brigadir Jenderal Nico Afinta dan Fadil Imron yang mendapat posisi menjadi staf ahli Idham.
"Ketiga, mutasi ini menunjukkan juga secara nyata bahwa kekuatan lama di Polri begitu cepat digeser Idham dan figur-figur milik kekuatan lama itu ditempatkan pada posisi-posisi yang kurang strategis dan turun kelas," katanya.
Fenomena keempat, ucap Neta, adalah selama ini polisi yang menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah inspektur jenderal, atau seorang purnawirawan. Namun, jika sekarang Ketua KPK terpilih Inspektur Jenderal Firli dinaikkan pangkatnya menjadi bintang tiga sebelum menduduki kursi ketua KPK, berarti ada perubahan strategi di tubuh Polri dalam melihat keberadaan KPK.
"Perubahan strategi itu bisa jadi untuk memperkuat KPK dengan pimpinan jenderal bintang tiga dan sekaligus memperkuat wibawa ketua KPK agar tidak mudah dilecehkan atau dianggap remeh oleh pegawai KPK maupun oleh Wadah Pegawai KPK," kata Neta.
Dengan naiknya pangkat seorang Ketua KPK, kata Neta, maka otomatis keberadaan lembaga antirasuah itu setara dengan Badan Narkotika Nasional maupun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.