INFO NASIONAL — Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) baru saja meluncurkan aplikasi pendaftaran kekayaan intelektual (KI Online) pada 17 Agustus 2019. Selain memudahkan masyarakat, pendaftaran via online diharapkan sanggup memutus mata rantai korupsi dan pungutan liar.
“Kalau dulu (sistem pendaftaran konvensional) ada pungli, sekarang 90 persen sudah hilang,” kata Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Freddy Harris, saat ditemui di Oakwood Suites, Jakarta, 25 September.
Baca Juga:
Ia mengakui berbagai penyimpangan yang pernah terjadi sebelum DJKI melakukan pembenahan dalam empat tahun terakhir. Bahkan, cerita Freddy Harris, dirinya pernah mengundang pihak Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia membeberkan sejumlah lokasi yang subur dengan pungli. “Dari mulai loket (pendaftaran) hingga proses percepatan banyak sekali. Jadi, dengan kemunculan aplikasi online ini perhatian utama kami bisa menciptakan pelayanan pada masyarakat yang lebih baik,” ujarnya, menegaskan.
Satu bulan sejak KI Online dirilis, animo masyarakat cukup menggembirakan. Jumlah permohonan paten mencapai 1.292, permohonan desain industri di angka 886, bahkan permohonan merek menembus 9.467. Freddy Harris mengakui hasil tersebut belum terlampau signifikan, jika dibandingkan jumlah permohonan total tahun ini sebanyak 50.177.
Bagaimanapun, dampak positifnya cukup dirasakan masyarakat. Selain minimnya interaksi antara pemohon dan pegawai DJKI, sekarang terdapat layanan aduan, live chat, bahkan aplikasi LAPOR yang merekam semua data keluhan pemohon.
Baca Juga:
KI Online juga diklaim mampu memangkas waktu permohonan. Contoh, permohonan paten lazimnya antara 24-36 bulan, kini sanggup dipercepat hingga 12 bulan. Permohonan merek sebelumnya butuh waktu 18 bulan, sekarang cukup 6 bulan saja. “Lalu mengapa ada yang ngomong, kok ada UKM mendaftarkan merek sampai lebih dari dua tahun? Harus dilihat dulu, mungkin orang itu memohonkan dengan banyak kelas,” ucap Dirjen lulusan UI ini.
Patut diketahui, ada 45 kelas dalam pendaftaran merek. Misalnya, kelas 1 untuk bahan kimia yang digunakan industri, kelas 2 untuk cat dan bahan pewarna. Sementara paten merupakan pembuktian dari hasil invensi. Tapi juga terdapat paten dasar, contohnya sedotan fleksibel (bisa dibengkokan). Lalu yang dimaksud hak cipta adalah karya intelektual dalam lagu, buku, dan lain sebagainya. Sedangkan, desain industri adalah karya untuk mendesain penampakan sebuah produk, misalnya desain i-Phone yang khas. Terakhir, yakni indikasi geofrafis sebagai penanda yang menunjukkan daerah asal sebuah produk, sebutlah di antaranya kopi kintamani dari Bali, dan mebel ukir Jepara. Hingga 2018 terdapat 65 produk sudah terdaftar. Lima hal yang disebutkan tadi berada di bawah wewenang DJKI dalam pendataan, pengesahan, dan pengawasan sebagai bukti kekayaan intelektual. DJKI ada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Namun, penelitian INDEF (Institute For Development of Economic and Finance) pada 2018 menunjukkan jumlah paten yang dikabulkan 8.872. Kalah jauh dari Korea Selatan sebanyak 108.875, atau Taiwan 76.252. Ketertinggalan ini, kata Freddy Harris, karena rendahnya kesadaran masyarakat dan peneliti terhadap pentingnya kekayaan intelektual. “Ini memang tantangan besar. Bagaimanapun, kita harus memulainya. Itulah salah satu faktor penting munculnya aplikasi pendaftaran online,” ujar Dirjen pemerhati dunia pendidikan dasar ini. Sebab itu, direktorat yang dipimpinnya kini memperjuangkan pengenalan merek bisa masuk kurikulum sekolah dasar. “Kita harap saja, semoga bisa terlaksana,” katanya, menambahkan. (*)