TEMPO.CO, Jakarta - Sidang gugatan praperadilan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 7 November 2019.
Sidang praperadilan keempat kali ini terkait permintaan pengacara Imam Nahrawi, Saleh, kepada KPK untuk menghentikan penyidikan (SP3) perkara kliennya menggunakan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.
Sidang dipimpin oleh Hakim Elfian, dengan agenda pemeriksaan Saksi Ahli dari pihak KPK. Saksi Ahli itu adalah Muhammad Arif Setiawan, dosen Fakultas Hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Dalam persidangan, pengacara Imam Nahrawi, Saleh menanyakan salah satu ketentuan pasal 70C UU No 19 tahun 2019. Saleh menanyakan keabsahan penetapan kliennya sebagai tersangka sebelum UU KPK berlaku, yaitu 28 Agustus 2019.
"Apabila kejadian (penetapan tersangka) diberlakukan sebelum UU berlaku, maka tetap berlaku. Apabila ada tindakan hukum baru, baru diberlakukan UU baru. Sepanjang yang telah dilakukan sebelum UU baru berlaku, tetap itu sah. Bila ada tindakan hukum baru, maka pakai UU baru. Intinya, enggak harus dimulai dari awal," kata Hakim Elfian menegaskan pernyataan saksi ahli.
Selain itu, terkait permohonannya, Saleh juga menyebut KPK sudah memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan dalam UU KPK baru.
"SP3 itu hari ini diatur di UU KPK baru. KPK selama ini mengatakan katanya enggak punya kewenangan melakukan SP3. UU No19 tahun 2019 Pasal 40 itu jelas menyebutkan KPK diberi kewenangan untuk melakukan SP3," kata Saleh.
Dia menjelaskan, setelah mendengarkan jawaban dari pihak termohon, tidak ada tuduhan yang menyebut Menpora Imam Nahrawi menerima langsung sejumlah dana hibah KONI. Dia menyebut KPK menggunakan bahasa representasi.
"Jadi ternyata selama ini, asisten pribadi Imam, Miftahul Ulum yang dalam persidangan di PN Jakarta Pusat sudah membantah menerima sesuatu dari Sekjen maupun Bendahara KONI. Tapi ternyata hari ini, penetapan mas Imam ditarik sebagai representasi Ulum sebagai asisten pribadi," katanya.
Dalam persidangan, Arif mengatakan bahasa representasi itu tidak ada dalam hukum pidana. Atas pernyataan Saksi Ahli, Saleh mengatakan representasi bukanlah bahasa hukum.
"Yang ada pernyertaan. Tapi KPK masih menggunakan bahasa representasi. Harusnya kalau begitu, KPK nunggu dulu putusannya Ulum. Kalau Ulum terbukti, baru (Imam jadi tersangka)," katanya.
Untuk itu, Arif menegaskan, penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka itu harus dibuktikan keabsahannya oleh KPK minimal dengan 2 alat bukti. "Sepanjang ada 2 alat bukti, berarti sah. Kalau tidak, berarti sebaliknya. Itu menyangkut pembuktiannya," kata Arif.
Arif mengaku tak tahu apakah KPK sudah memiliki 2 alat bukti tersebut. Untuk itu KPK harus bisa membuktikannya ketika menetapkan Imam sebagai tersangka pada 28 Agustus 2019 lalu. "Dua alat bukti bisa diambil dari hukum pembuktian. Bisa dari keterangan ahli, tersangka, bukti surat, petunjuk atau keterangan terdakwa," katanya.
Sebelumnya, Imam dan asistennya, Miftahul Ulum, diduga menerima uang dengan total Rp 26,5 miliar. KPK juga menduga uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi Imam dan pihak lain yang terkait.
Uang tersebut diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora Tahun Anggaran 2018. Penerimaan terkait Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima, dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan Imam selaku Menpora.