TEMPO.CO, Jakarta - Hasil sigi Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan bahwa gejala mayoritarianisme terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Gejala ini juga dilihat dari semakin tingginya masyarakat yang ingin agar pemerintah mengutamakan islam dalam aspek berbangsa, bernegara, dan beragama.
"Mayoritarianisme adalah suatu pandangan, sikap bahwa mayoritas lah yang harus diutamakan. Minoritas harus ikut terhadap mayoritas," ujar Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan, saat merilis hasil survei di Kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Ahad, 3 November 2019.
Secara umum, saat responden yang berjumlah 1550 orang ditanya apakah kelompok minoritas (non muslim) harus mengikuti umat mayoritas (muslim), hasilnya adalah 48,6 persen tak sepakat. 37,2 persen sepakat dan 14,2 tak menjawab.
Djayadi mengatakan meski presentase yang menolak lebih tinggi, namun hasil tersebut tak dinilai dominan karena masih di bawah 50 persen. Sebaliknya, presentase yang menolak meski hanya 37,2 persen, namun menunjukan tren yang terus menanjak sejak 2016.
"Di sini yang tak setujunya meningkat, yang menyatakan setuju menurun. Itu artinya ada gejala mayoritarianisme di kalangan Islam," kata dia.
Dari hasil survei LSI, pada 2016, angka warga yang sepakat hanya 30,3 persen. Namun terus meningkat pada 2017 menjadi 34,4 persen, 2018 menjadi 34,3 persen, dan 2019 menjadi 37,2 persen.
Hasil ini kemudian ditegaskan lewat pertanyaan berikutnya, yakni apakah responden sepakat jika pemerintah mengutamakan agama islam dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Hasilnya 60,1 persen responden setuju, 23 persen tak tak setuju, dan 7,3 persen sangat setuju. Hanya 0,9 yang menyatakan sangat tak setuju, dan 8,8 persen memilih tak menjawab.
"Biasanya gejala mayoritarianisme ini gejala yang melekat, banyak di mana mana kelompok mayoritas, bukan hanya di Indonesia. Tapi kalau tak dikelola dengan baik, itu bisa menimbulkan pergesekan. Itu jadi tantangan bagi pemerintah," kata Djayadi.