TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menganggap jargon NKRI Harga Mati sebagai bentuk kekakuan ideologis yang tidak cocok dalam menyikapi gejolak di Nduga, Papua.
Usman berpendapat jika kekakuan ideologi ini justru berbahaya karena mengerucutkan rumitnya permasalahan di Nduga, Papua dan sekedar mengecapnya sebagai separatisme bersenjata. Menurut Usman, akar gejolak di tanah Cenderawasih itu ada pada pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kemanusiaan.
"Dalam penelitian LIPI, penyebab gejolak adalah diskriminasi, ketidakadilan ekonomi, kekerasan HAM. Sumbernya negara gagal menghadirkan dirinya sebagai benteng keadilan, bukan karena separatisme," ujar Usman di Jakarta, Rabu, 30 Oktober 2019.
Lanjutnya, kekakuan ideologi NKRI Harga Mati ini bukan hanya tentang menyepelekan nilai kemanusiaan yang terjadi di Nduga. Namun dapat berdampak pada tertutupnya jalan bantuan organisasi kemanusiaan bagi Papua.
"Padahal misal kami ingin membantu pemerintah, ada 118 orang tewas dan diberikan keadilan, tapi nanti informasi tersebut dianggap mendukung separatisme," ucap dia.
Usman menambahkan, pendukung NKRI Harga Mati seolah takut akan munculnya separatisme jika Indonesia mengikuti ide Gus Dur yang memperbolehkan pengibaran bendera bintang kejora serta menyanyikan lagu kebangsaan Papua.
"Gus Dur boleh menaikkan bendera meski harus sedikit di bawah bendera merah putih dan ukurannya lebih kecil, boleh nyanyi. Intinya, a multi nation state. Mengakui Papua sebagai bangsa itu bisa. Esensinya harus ada pengakuan pada orang Papua," ujar mantan Koordinator KontraS itu.
NINDYA ASTUTI