TEMPO.CO, Jakarta - Lokataru Foundation menilai bahwa terjadi pengkerdilan ruang kebebasan sipil di Indonesia di era pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Hal ini disimpulkan Lokataru dari studi yang mereka lakukan berdasarkan pada sejumlah peristiwa yang terjadi belakangan.
Deputi Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Mufti Makarim mengatakan empat peristiwa itu adalah Papua dan pendekatan keamanan, aksi demonstrasi besar jelang pelantikan Presiden, pembatasan kebebasan akademik, dan pemberangusan serikat buruh.
"Di empat itu, titik temunya sama. Ada upaya untuk membatasi ruang dari masyarakat sipil. Kalau kami lihat prosesnya dia bukan dari suatu yang tiba-tiba, tapi sesuatu yang berkaitan dengan isi kepala dari pemerintah dalam melihat sektor-sektor ini," kata Mufti dalam diskusi bertema Penyempitan Ruang Kebebasan Sipil di Era Jokowi di Ashley Hotel, Jalan Wahid Hasyim, Senin, 28 Oktober 2019.
Mufti mengatakan ukuran bebasnya suatu sipil dapat dilihat dari tiga hal, yakni kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berorganisasi. Ketiga hal ini kemudian banyak dibatasi oleh pemerintah.
Jika merujuk pada prosesnya, Mufti mengatakan arah pengkerdilan ini sebenarnya sudah dimulai sejak awal pemerintahan Jokowi. Maraknya penangkapan yang didasarkan pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi salah satu patokannya. Padahal ini menilai banyak di antaranya adalah pasal karet yang memiliki banyak tafsir.
Hal ini kemudian terakumulasi menjelang Pemilihan Presiden 2019 dan pelantikan Presiden. Insiden rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, dinilai ditanggapi secara berlebihan oleh pemerintahan.
"Yang ada di dalam kepala pemerintah adalah kekhawatiran adanya internasionalisasi isu Papua. Karena itu, yang dilarang adalah demonstrasi mendukung isu Papua, yang berujung penangkapan aktivis Papua di Jakarta. Kemudian pembatasan informasi dengan pembatasan internet," kata Mufti.
Kemudian pada aksi demonstrasi 24-25 September oleh mahasiswa dan pelajar yang memprotes RUU KPK dan RKUHP, juga ditanggapi secara berlebihan. Padahal, Mufti menegaskan tak ada unsur yang dilanggar dalam protes yang dilancarkan mahasiswa dan pelajar.
Ia menilai pemerintah terlalu takut melihat besarnya massa yang mau turun ke jalan. "Kalau massanya besar, ada kekhawatiran bisa ditunggangi untuk menggeser ke isu yang lain. Isu yang dikhawatirkan adalah serangan kepada Istana," kata Mufti.
Kemudian, pengekerdilan diperpanjang dengan adanya pembatasan di kampus dalam bentuk pelarangan tema-tema tertentu dan pelarangan mahasiswa ikut demonstrasi. Selain itu, pemberangusan serikat buruh juga dilakukan.
Mufti mengatakan aktor pemberangusan pun berubah dan semakin bervariatif. Jika dulu pengusaha dan aparat mendominasi pelaku pemberangusan, maka saat ini Mufti mengatakan banyak pemain baru seperti ormas, suku dinas provinsi tenaga kerja, hingga serikat kerja itu sendiri.