Melalui cara berpolitik Tjokroaminoto yang matang itulah, kata Wahid, Sarekat Islam berhasil menjadi organisasi yang besar, tempat berhimpun berbagai elemen dan aliran. Sarekat Islam menjadi gerakan massa nasionalis yang menjangkau semua lapisan, berskala nasional dan bertujuan membangun pemerintahan sendiri.
Mengutip almarhum budayawan Kuntowijoyo, ujar Wahid, Tjokroaminoto berhasil membangun kesadaran dan partisipasi politik umat, mengubah mereka dari kerumunan menjadi barisan, mengubah 'wong cilik' menjadi 'warga negara'.
Dalam diskusi yang menghadirkan sejarawan Bonnie Triyana, cicit HOS Tjokroaminoto, N Robbi Sepang, serta dimoderatori Redaktur Tempo Sunudyantoro itu, Wahid juga mengungkap bagaimana Tjokroaminoto memberi sejumlah warisan pemikiran yang masih membuka kajian kritis hingga saat ini.
Warisan pemikiran Tjokroaminoto itu, misalnya, tampak bagaimana Tjokro mempertemukan ajaran Islam dan sosialisme. Sosialisme yang dilihat Tjokroaminoto tidak bersifat sekuler. Berbeda dengan sosialisme yang berkembanhmg di Barat.
Kata Wahid, Tjokro menganggap sosialisme Islam sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan bersumber pada Alquran dan Hadits. Tjokroaminoto berpandangan sosialisme Islam memiliki tiga unsur, yakni kemerdekaan, persaudaraan, dan persamaan.
Dalam konteks pemerintahan, berbeda dengan Barat yang menggunakan demokrasi parlementer, Tjokroaminoto berpandangan sosialisme Islam menggunakan 'hukum Tuhan' sebagai dasar. Contohnya adalah kekhalifahan Umar bin Khattab yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan.