TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi tak punya komitmen menuntaskan persoalan HAM masa lalu.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Dimas Bagus, mengatakan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang dimaksud seperti tragedi Semanggi I, Semanggi II, penghilangan paksa 1997-1998, tragedi Talangsari Lampung, Tanjung Priok, dan tragedi 65.
"Enam kasus ini dalam 5 tahun tidak ada satupun langkah konkret presiden mewujudkan janji politiknya. Kami mencatat, kebijakan penuntasan HAM cenderung tidak sesuai Nawacita," kata Dimas di kantornya pada Senin, 21 Oktober 2019.
Dimas menjelaskan, pada tahun 2015, Nawacita itu diterjemahkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Tedjo Edhy Purdijatno membuat tim rekonsiliasi nasional.
Tim itu bertujuan untuk melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pendekatan non yudisial. "Atau, tidak melegitimasi hasil penyelidikan komnas ham," katanya.
Baca Juga:
Tedjo Edhy dicopot 12 Agustus 2015. Jabatan Menkopolhukam lalu diberikan kepada Luhut Binsar Pandjaitan. Di bawah Luhut, Kemenkopolhukam membuat Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Jakarta pada 18 April 2016.
Dimas menjelaskan, simposium itu tidak berperespektif pada korban tragedi 65. Malahan, melegitimasi kekerasan terhadap korban yang dicap sebagai Partai Komunis Indonesia yang selama ini mendapat stigmatisasi. "Ini bertolak belakang dengan cita-cita keadilan penuntasan kasus seperti di Nawacita" katanya.
Pada Juli 2016, pucuk tertinggi Kemenkopolhukam diduduki oleh Wiranto. Pada masa transisinya, Wiranto langsung membuat Dewan Kerukunan Nasional (DKN). DKN itu menitikberatkan pada prosesi non yudisial dan rekonsiliasi.
"Bisa dianalisa bahwa rekonsiliasi ini sinonim dari cuci tangan karena tidak ada ruang partisipasi dan kontribusi korban dan keluarga korban untuk merumuskan kebijakan apa yang harus dilakukan pemerintah terkait pemulihan korban," ujar Dimas.
Dari tiga pimpinan Menkopolhukam, Dimas menilai DKN adalah kebijakan yang paling buruk. Hal ini karena DKN menggunakan perumpamaan kerukanan untuk melegitimasi dan menunjukkan rezim Jokowi ramah terhadap penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Namun sejatinya itu hanya pengalihan untuk mencuci beberapa dosa-dosa para terduga pelaku yang menempati jabatan publik," katanya.