TEMPO.CO, Jakarta - Belum genap 100 hari setelah dilantik pada 20 Oktober 2014, Presiden Joko Widodo atau Jokowi dihadapkan pada peristiwa yang terjadi di Kabupaten Paniai, Papua. Kasus yang terjadi pada 8 Desember 2014 itu menyebabkan empat warga tewas tertembak.
Jokowi terbang langsung ke Papua beberapa pekan setelah kejadian itu. "Beliau menunjukkan komitmennya. Di depan warga Papua, presiden mengatakan bahwa kasus ini akan segera ditindaklanjuti," ucap Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Chairul Anam saat ditemui Tempo, pada Kamis, 3 Oktober 2019.
Kasus Paniai berawal dari keributan dua anggota TNI dengan beberapa remaja. Peristiwa itu diwarnai dengan tembakan oleh oknum anggota TNI sehingga menyebabkan empat orang meninggal. Kejadian itu direspons Mabes Polri dengan membentuk tim gabungan. Bahkan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan membentuk tim terpadu yang bekerja selama tiga bulan. "Tapi nyatanya sampai hari ini, kasusnya tidak pernah selesai," ujar Anam.
Utang kasus lain yang belum selesai adalah penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu disiram oleh dua orang tak dikenal di dekat rumahnya di Jakarta Utara pada 11 April 2017. Penyiraman itu mengenai kedua mata Novel dan membuat mata kirinya mengalami luka paling serius.
Sejak awal, pegiat antikorupsi mendesak Jokowi membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) gabungan. Namun hingga kini desakan itu tak kunjung dipenuhi. Menjelang dua tahun kasus Novel pada awal 2019, Kapolri Jenderal Tito Karnavian membentuk tim pencari fakta. Tim itu bekerja selama enam bulan, namun gagal mengungkap siapa pelaku penyiraman.
Penyidik senior KPK Novel Baswedan, memberikan keterangan kepada awak media, di gedung KPK, Jakarta, 20 Juni 2019. Novel Baswedan, diperiksa penyidik dari Polda Metro Jaya dan Tim Gabungan Pencari Fakta sebagai saksi terkait kasus penyiraman air keras terhadap dirinya, telah memasuki 800 hari yang belum terungkap pelakunya. TEMPO/Imam Sukamto
Jokowi pun memberi waktu tiga bulan untuk Polri untuk segera menyelesaikan kasus tersebut. Sikap Jokowi itu direspons Tito dengan membentuk tim teknis pada Juli lalu. Namun, tiga bulan setelah tenggat waktu diberikan, progres kerja tim teknis tersebut tak kunjung terdengar.
Polri mengklaim ada kemajuan signifikan dalam perkembangan penyelidikan. Kendati demikian, polisi enggan membeberkan perkembangan tersebut. "Insya Allah, sangat signifikan. Doakan. Tim sedang bekerja," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal di Hotel Cosmo Amarossa, Jakarta Selatan pada Rabu, 16 Oktober 2019.
Jokowi sendiri tak menjawab ketika ditanya perkembangan kasus tersebut. Saat ditanya wartawan tentang kasus Novel, Jokowi malah menjawab soal kabinet. "Nantilah, tadi kan sudah saya sampaikan, sabar-sabar," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 18 Oktober 2019.
Anggota tim advokasi kasus Novel, M Isnur, mengatakan TGPF independen perlu dibentuk karena tim teknis kepolisian telah gagal mengungkap kasus tersebut. "Ungkap segera, dan jangan kemudian berlarut-larut memberikan waktu lagi, waktu lagi," kata Isnur di Kementerian Sekretariat Negara pada Jumat, 18 Oktober 2019.
Tuntutan penyelesaian kasus kepada Jokowi juga berlaku untuk kasus-kasus HAM berat masa lalu. Kasus tersebut di antaranya kasus Trisakti, Semanggi I dan II, peristiwa 1965, kasus Talangsari, kasus Munir, dan sebagainya. Di awal kepemimpinan, Jokowi-Jusuf Kalla memikul harapan penyelesaian kasus-kasus tersebut. Apalagi, penyelesaian kasus HAM berat menjadi janji yang diumbar saat pilpres 2014. Namun, tak satu pun kasus tersebut bisa diselesaikan.
Komisioner Komnas HAM Chairul Anam mengatakan pihaknya memberi rapor merah kepada Jokowi terkait penyelesaian kasus-kasus tersebut. "Bahkan untuk kasus yang beliau dengar dan berjanji langsung itu saja enggak selesai, bagaimana kasus yang beliau enggak tahu? Pelanggaran HAM berat nol, benar-benar rapor merah," ucap Anam merujuk pada kasus Paniai.
Aktivis HAM Sumarsih berorasi saat aksi Kamisan ke-600 di Jakarta, Kamis 5 September 2019. Dalam aksinya mereka menuntut segera diselenggarakannya pengadilan HAM di Indonesia. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengungkapkan sejumlah kendala penuntasan kasus HAM masa lalu. "Persoalan masa lalu yang cukup lama, sehingga kebutuhan-kebutuhan yang bisa mendukung atas terlaksananya hukum bisa berjalan baik, buktinya, saksinya, unsur-unsur ini lah yang kadang menghambat penyelesaian secara tuntas," kata Moeldoko di Gedung Bina Graha, Jakarta, Jumat, 18 Oktober 2019.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai pemerintahan Jokowi gagal dan ingkar janji menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Deputi Koordinator Kontras Feri Kusuma mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sebetulnya masuk dalam program kampanye Jokowi-JK bertajuk Nawacita "Tapi saat terpilih, berubah jadi ingkar janji," kata Feri beberapa waktu lalu. Selama lima tahun pemerintahan, kata da, tidak ada satu pun kasus yang selesai.
Moeldoko mengatakan perlu ada upaya baru untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Misalnya dengan pendekatan nonyudisial. Namun, upaya ini pun belum diterima semua pihak. Sehingga, kata Moeldoko, upaya pemerintah menyelesaikan kasus pun mejadi sulit.
Namun kesulitan ini dibantah pegiat HAM. Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan sebenarnya Jokowi bisa memperbaiki dengan memberi perhatian atau komitmen dengan menempatkan orang yang tepat. "Orang yang bukan pernah terindikasi menjadi pelanggar HAM dan mengeluarkan pernyataan minor tentang HAM," kata Asfinawati saat dihubungi, pada Kamis, 17 Oktober 2019.
Anam pun mengaku pesimistis dengan kepimpinan Jokowi di periode dua terkait penanganan kasus pelanggaran HAM berat. "Saya enggak yakin dia bisa berbuat banyak. Karena dia tidak meletakan penyelesaian HAM sebagai sesuatu yang penting," kata dia.
ANDITA RAHMA | FRISKI RIANA | ROSSENO AJI