TEMPO.CO, Jakarta - Siang di seberang Istana. Sekelompok orang khusuk mendengar khotbah di tengah teriknya mentari kawasan Monas, Jakarta Pusat. Mereka adalah jemaat Gereja Kristen Indonesia atau GKI Yasmin, Bogor yang tengah beribadah pada Ahad, 13 Oktober 2019.
“Ini ibadah kami ke-204 kali, sejak 2012, di seberang istana. Kami setiap dua pekan sekali ibadah di sini,” ujar Juru bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging kepada Tempo, Ahad pekan lalu.
Tujuh tahun lalu, gereja mereka disegel oleh pemerintah daerah setempat atas desakan dari sekelompok orang. Ratusan kali menggelar ibadah di seberang Istana sebagai bentuk protes atas penyegelan tempat ibadah mereka, tapi tak sekalipun Presiden Joko Widodo atau Jokowi menemui mereka.
GKI Yasmin pertama kali disegel oleh Satpol PP Kota Bogor pada 10 April 2010. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dan Mahkamah Agung telah memenangkan GKI Yasmin dalam perkara ini dan hasil putusan menyatakan GKI Yasmin berhak mendapatkan kembali izin mendirikan bangunan (IMB). Namun, Wali Kota Bogor saat itu, Diani Budiarto, justru mencabut IMB GKI Yasmin. Pada 2012, GKI Yasmin disegel kembali.
Wali Kota Bogor Bima Arya berjanji menyelesaikan kasus GKI Yasmin tahun ini. Dia menawarkan tiga opsi yakni; mendirikan gereja di tempat baru dengan IMB baru, relokasi, atau berbagi lahan. Bima juga membentuk tim 7 dari GKI Yasmin untuk berunding bersama pemerintah kota. “Hari-hari ini adalah hari intensif diskusi berkomunikasi dengan teman-teman tim 7, dan saya punya optimisme masalah ini akan selesai,” ujar Bima di Hotel Ashley, Menteng, Jakarta Pusat pada Selasa, 13 Agustus 2019.
5 Tahun Jokowi - KKB - Setara
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan, kasus GKI Yasmin yang telah bertahun-tahun ini seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat dan tidak hanya menyerahkan kasus ini sepenuhnya kepada daerah. “Akar permasalahan kasus ini cukup kompleks, selain tentunya akibat pemahaman agama yang sempit dan kurang menghargai perbedaan,” ujar Bonar kepada Tempo, Sabtu pekan lalu.
Setara Institute menelisik, Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah kerap menjadi batu sandungan pendirian rumah ibadah kelompok minoritas. SKB ini ditolak sejumlah gereja karena dinilai sangat diskriminatif terhadap kaum minoritas.
Kasus GKI Yasmin hanya satu contoh diantara banyaknya kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Sepanjang 2018 lalu, Wahid Foundation mencatat terjadi sebanyak 276 tindakan dan 193 peristiwa kemerdekaan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Di tahun yang sama, Setara Institute mencatat terdapat 160 peristiwa dan 201 tindakan pelanggaran kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Angka ini naik dari tahun sebelumnya dengan jumlah peristiwa pelanggaran yang terjadi sebanyak 155 peristiwa, sedangkan tindakan pelanggaraan di angka 201.
Dari 201 tindakan KBB yang terjadi pada 2018, terdapat 72 tindakan yang dilakukan negara sebagai aktor. Sedangkan pelanggaran oleh aktor non-negara hampir dua kali lipat lebih banyak, yaitu 130 tindakan. Adapun negara sebagai aktor yang paling banyak melakukan tindakan KBB adalah pemerintah daerah. Sedangkan aktor non-negara yang paling banyak melakukan tindakan KBB, selain individu dan warga setempat adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Organisasi Kemasyarakatan.
Hingga Agustus 2019, Setara Insitute mencatat ada sebanyak 188 kebijakan daerah yang intoleran dan diskriminatif atas dasar agama dan kepercayaan. Kebijakan tersebut berbentuk surat edaran, peraturan kepala daerah, ataupun SK Besama Menteri.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, ada beberapa alasan yang menyebabkan produk-produk hukum diskriminatif ini muncul. Salah satunya, akibat rendahnya pengawasan dari pemerintah pusat dan UU nasional yang memberi ruang munculnya produk hukum daerah yang diskriminatif. “Pak Jokowi dalam lima tahun terakhir sama sekali tidak menyentuh soal ini,” ujar Ismail kepada Tempo pada Sabtu, 12 Oktober 2019.
Walaupun Jokowi pernah membatalkan sebanyak 3.143 Perda dan Perkada bermasalah pada 2016, ujar Ismail, tapi semua produk hukum yang dibatalkan tersebut hanya terkait investasi, retribusi pajak, perizinan dan segala hal yang menyangkut kemudahan berusaha. “Hanya ada satu produk hukum daerah tentang larangan pelacuran yang ikut terbawa. Ratusan produk hukum lainnya, yang banyak diadvokasi masyarakat sipil, tidak menjadi perhatian Jokowi,” ujar Ismail.
Berdasarkan catatan KontraS sejak 2014-2018, peristiwa pelanggaran KBB terjadi sebanyak 488 peristiwa. Berulangnya kasus-kasus pelanggaran hak atas kebebasan berkeyakinan dan beribadah ini dinilai dimotori oleh kebijakan-kebijakan diskriminatif yang masih berlaku hingga lima tahun masa kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Kebijakan-kebijakan tersebut yaitu; SKB Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung RI) nomor 3 tahun 2008 terkait Jamaah Ahmadiyah Indonesia; UU nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama; UU nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Ketidakberdayaan pemerintahan Jokowi-JK dalam memahami dan menyelesaikan akar permasalahan sebuah kasus dinilai menjadi persoalan sendiri yang mengakibatkan impunitas terhadap tindak diskriminatif kepada kelompok minoritas agama. “Dengan masih berlakunya kebijakan tersebut, negara membiarkan represivitas terus terjadi,” ujar Peneliti KontraS Rivan Lee Ananda, pada pekan lalu.
Untuk mencegah keberulangan, Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos meminta pemerintah mencabut sejumlah peraturan diskriminatif yang selama ini memberi angin terjadinya tindakan intoleransi dan diskriminasi, terutama UU Penodaan Agama dan SKB 2 Menteri.
"Kami menyarankan agar UU Penodaan agama diganti dengan UU kebencian berdasarkan agama. Sebab, yang perlu dilindungi adalah hak kebebasan beragama, bukan agamanya. Jadi, yang bisa dikriminalkan itu hanya apabila menyerang seseorang yang berbeda agama/keyakinan dengan motif kebencian dan diskriminatif,” kata dia.
Untuk mencegah munculnya produk-produk hukum intoleran dan diskriminatif di kemudian hari, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mendorong agar Pusat Legislasi Nasional yang juga menjadi janji Jokowi segera terealisasi. “Puslegnas ini sangat dibutuhkan untuk memastikan konsistensi produk hukum secara holistik,” ujar Bonar.
DEWI NURITA