TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melaporkan dugaan intervensi terhadap independensi hakim dalam sidang kasus kekerasan dan perusakan yang menimpa petani Serikat Mandiri Batanghari (SMB) Jambi.
"Tadi (kemarin) kami bersama KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) melapor ke Komisi Yudisial agar segera memantau jalannya persidangan petani SMB," kata Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnama Sari kepada Tempo, Jumat, 18 Oktober 2019.
Kasus SMB Jambi meletup ketika petani berkonflik dengan korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Wira Karya Sakti (WKS), anak perusahaan Sinarmas Group. Kepolisian menuding petani sebagai biang kerusuhan dan melakukan penyerangan terhadap aparat pada Juli lalu. YLBHI kemudian membeberkan bahwa pernyataan itu justru bertolak belakang dengan temuan penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani konflik itu.
Era menceritakan, mulanya 59 petani SMB ditangkap oleh Kepolisian Daerah Jambi pada Juli lalu. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dengan didampingi pengacara yang disiapkan kepolisian. YLBHI kemudian mengambil-alih kewenangan dari pengacara sebelumnya sebagai kuasa hukum yang baru karena menemukan sejumlah masalah pelanggaran hak asasi manusia.
Tak lama setelah itu, polisi melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jambi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) tiba-tiba melakukan pelimpahan tahap dua, berkas perkara 47 dari 59 terdakwa ke meja hijau pada 11 Oktober. Pelimpahan dilakukan tanpa pemberitahuan ke YLBHI selaku kuasa hukum para terdakwa. Era baru tahu setelah menanyakan itu pada JPU Kejaksaan Tinggi Jambi.
Sidang perdana kemudian dimulai pada 16 Oktober lalu tanpa didampingi YLBHI. Para terdakwa diadvokasi oleh pengacara lama yang sebelumnya disiapkan polisi. Padahal mereka sudah tak memiliki surat kuasa, dan seorang pengacara diketahui pernah menjadi saksi memberatkan dalam sidang praperadilan yang sempat diajukan oleh YLBHI. "Mereka itu tidak sah," kata Era.
YLBHI semula menjelaskan pada majelis hakim bahwa pihaknya adalah kuasa hukum sah yang ditunjuk para terdakwa menggantikan pengacara lama. Namun YLBHI terhambat dalam mendaftarkan surat kuasa ke panitera sidang. Di satu sisi, pengacara lama telah terlebih dulu mendaftarkan diri ke panitera. Majelis hakim kemudian menyatakan bahwa yang berwenang menjadi kuasa hukum adalah pengacara lama.
Menurut Era, persidangan itu menabrak sejumlah prosedur dan hak asasi yang harusnya diperoleh para terdakwa sesuai dalam Kitab Hukum Acara Pidana. Karena alasan itu YLBHI bersama KontraS melaporkan proses persidangan ke Komisi Yudisial agar setiap putusan yang diambil majelis hakim terpantau. "Kami menduga ada intervensi terkait independensi hakim. Bahkan telah ada ketidakadilan sejak mulai proses penyidikan dan penuntutan."
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Jambi, Nilma, menampik tuduhan bahwa dalam proses persidangan melarang YLBHI mendampingi para terdakwa. Kata dia, justru majelis hakim membolehkan YLBHI masuk ruang sidang meski belum mendaftarkan surat kuasa. "Didampingi (YLBHI) kok kemarin. Justru (meski mereka) tidak ada surat kuasanya pun sudah bisa mendampingi terdakwa," kata Nilma.
Kata dia, YLBHI juga mengikuti sidang duduk bersama para kuasa hukum yang lama. Apalagi menurut dia, kuasa hukum yang lama masih sah mendampingi terdakwa. Karena, kata Nilma, para terdakwa belum pernah mencabut surat kuasa yang diberikan kepada pengacara lama.
Rencananya, sidang berikutnya akan digelar pada 23 Oktober dengan agenda Eksepsi. Adapun majelis hakim yang memimpin jalannya persidangan antara lain, Arfan Yani, SH, Morailam Purba, SH dan Srituti Wulandari, SH, M.Hum, Partono, SH, Victor Togi R, SH, MH, Patoni, SH, Romi Sinatra, SH., Lili Evelina, SH, Alex, SH. Di satu sisi, 12 orang terdakwa lainnya akan segera disidangkan pada pekan depan, 21 Oktober.