TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Atnike Sigiro, mengatakan periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi memperlihatkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap kesetaraan gender, kebebasan sipil, hak privat, dan hak aktualisasi diri.
"Enggak ada perlindungan privat. Negara membiarkan persekusi individu, kelompok minoritas dan identitas gender minoritas. Bukannya dilindungi, negara malah mengkriminalkan korban," kata Atnike di Jakarta, 17 Oktober 2019.
Atnike mengatakan kekhawatiran lain adalah kuatnya propaganda konservativisme yang mengancam hak-hak perempuan. Menurut dia, agenda keadilan gender untuk memenuhi hak perempuan justru mendapat ancaman dari kalangan masyarakat.
"Akibat menguatnya pandangan konservatif yang secara terbuka melakukan propaganda bahwa agenda keadilan gender bertentangan dengan agama dan budaya di Indonesia," katanya.
Dampaknya, menurut Atnike, bisa mempersulit perempuan maupun kelompok minoritas untuk mengutarakan ide kesetaraan gender maupun hak perempuan. Seperti UU ITE, persekusi, dan kriminalisasi terhadap korban.
Selain itu, Atnike menuturkan konservatisme juga mengancam upaya advokasi terhadap peraturan perundangan dalam isu-isu penegakan hak perempuan dan keadilan gender. "Termasuk RUU PKS, RUU-PKDRT, dan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender," katanya.
Melihat tak adanya sinyal keberpihakan pemerintah, Atnike menyebut pemerintahan pertama Presiden Joko Widodo atau Jokowi menunjukkan gejala-gejala suram di periode keduanya.
"Untuk itu perlu adanya gerak bersama lintas kelompok dan lintas sektor untuk memperkuat agenda perlindungan HAM, sebagai bagian tak terpisahkan dari hak-hak perempuan," katanya.