TEMPO.CO, Jakarta - Sedikitnya 41 ekonom Indonesia lintas universitas dan lembaga memaparkan dampak pelemahan pemberantasan korupsi terhadap perekonomian Indonesia. “UU KPK yang baru ini lebih buruk ketimbang UU nomor 30 Tahun 2002,” kata ekonom dari Centre of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah. Penjelasan itu disampaikan kepada Presiden Joko Widodo melalui surat terbuka yang dirilis pada Rabu, 16 Oktober 2019.
Selain Piter, para ekonom itu di antaranya adalah Prof. Sonny Priyarsono, Arti Adji, BM Purwanto, Vid Adrison, Hengki Purwoto, Evi Noor Afifah, Prof. Budy Resosudarmo, dan Prof. Lincolin Arsyad. Ada pula Prof. Bambang Riyanto, Rumayya Batubara, Faisal Basri, dan Kresna Bayu Sangka.
Menurut para ekonom, UU KPK telah melemahkan fungsi penindakan dan membuat KPK tidak lagi independen, meningkatkan tindak pidana korupsi dan mengancam efektivitas program pencegahan korupsi oleh KPK. Ilmu Ekonomi mengajarkan optimalisasi dan efisiensi alokasi sumber daya, namun korupsi menciptakan mekanisme sebaliknya. “Kami para ekonom, sebagai akademisi, berkewajiban memaparkan dan memisahkan mitos dari fakta terkait dampak pelemahan penindakan korupsi terhadap perekonomian."
Piter menjelaskan pihaknya memfokuskan rekomendasi untuk mengoptimalkan kesejahteraan rakyat. Hasil telaah literatur yang dilakukan menunjukkan bahwa korupsi menghambat investasi dan mengganggu kemudahan berinvestasi.
Korupsi memperburuk ketimpangan pendapatan dan melemahkan pemerintahan dalam wujud pelemahan kapasitas fiskal dan kapasitas legal. "Korupsi juga menciptakan instabilitas ekonomi makro karena utang eksternal cenderung lebih tinggi daripada penanaman modal asing."
Melalui studi dan telaah mitos dan fakta yang dilakukan, para ekonom menilai argumentasi bahwa korupsi merupakan pelumas pembangunan justru mengandung kelemahan dan tidak relevan untuk Indonesia. "Argumentasi penindakan korupsi menghambat investasi tidak didukung oleh hasil kajian empiris."