TEMPO.CO, Jakarta-Pengamat intelijen dan keamanan mahasiswa doktoral Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta, mengatakan ada cara lain untuk mengamankan acara pelantikan presiden-wakil presiden pada 20 Oktober 2019 selain melarang mahasiswa demo. Aparat seharusnya membiarkan demonstrasi dan memberikan pengamanan seperti biasanya.
“Seharusnya ada cara lain yang lebih bijak, Polri kalau mahasiswa mau demo, ya, dikawal saja. Dikawal dengan ketat, diberi pagar betis, dikawal demo seperti biasa begitu,” kata Stanislaus Riyanta dalam diskusi publik ‘Menakar Situasi Polhukam Menjelang Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI’ oleh Indonesian Public Institute di Nanami Ramen, Cikini, Jakarta, Selasa, 15 Oktober 2019.
Riyanta paham bahwa aparat tak mengkhawatirkan mahasiswa, namun penumpang gelap yang bisa jadi menyusup dalam aksi demonstrasi itu. Ia juga mengerti pada hari itu aparat lebih fokus pada pengamanan presiden ketimbang mengamankan demo.
Namun bila aparat tetap melarang unjuk rasa, ia menyarankan agar mereka memperbolehkan mahasiswa demonstrasi setelah pelantikan. Stanislaus Riyanta menilai demonstrasi pun tak relevan bila dilakukan pada acara pelantikan. “Toh kalau kasus RUU dan undang-undang bisa nanti kan. Karena gak ada hubungannya antara pelantikan Jokowi dengan RUU,” ucap dia.
Sebelumnya Pangdam Jaya Mayor Jenderal Eko Margiyono melarang mahasiswa berunjukrasa hingga pelantikan presiden pada 20 Oktober 2019. Pemberitahuan demo mahasiswa ataupun masyarakat, kata dia, tidak akan diproses. Larangan ini berlaku untuk sekitar lingkungan gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta.
"Sehingga kalau ada unjuk rasa, bahasanya tidak resmi atau ilegal," ujar Eko seusai mengikuti rapat koordinasi pengamanan pelantikan presiden bersama pimpinan DPR di Kompleks Parlemen, Senayan pada Senin, 14 Oktober 2019.
FIKRI ARIGI | DEWI NURITA