TEMPO.CO, Jakarta - Kontroversi penerbitan Perpu KPK belum usai hingga saat ini, lima hari menjelang pelantikan Presiden Jokowi untuk masa jabatannya yang kedua pada Minggu, 20 Oktober 2019.
Perdebatan juga mengarah ke urgensi penerbitan produk hukum darurat itu selain substansi perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Lembaga swadaya masyarakat dan tokoh-tokoh antikorupsi seta sejumlah akademisi berada di kubu penyorong Perpu KPK.
Terakhir, Serikat Pengajar HAM Indonesia (Sepaham) serta Malang Corruption Watch (MCW) mendesak Presiden Jokowi segera menerbitkan Perpu KPK untuk mengembalikan pemberlakuan UU KPK 2002.
“Presiden memiliki wewenang konstitusional prerogatif untuk menerbitkan Perpu atas dasar kondisi kegentingan yang memaksa,” kata Koordinator Sepaham Indonesia Al Hanif dalam keterangannya di Jakarta kemarin, Senin, 14 Oktober 2019.
Menurut Wakil Koordinator MCW Atha Nursasi, Perpu KPK merupakan jawaban atau bukti atas janji Presiden Jokowi untuk memperkuat lembaga KPK. Perpu menjadi jalan konstusional karena terjadi pelemahan pemberantasan korupsi.
"Presiden bisa mengeluarkan Perpu KPK. Situasi genting dan mendesak," ucapnya di tengah demonstrasi di Gedung DPRD Kota Malang pada Senin lalu.
Al Hanif pun membeberkan pemaknaan kegentingan yang memaksa seperti diatur oleh Mahkamah Konstitusi Agung sesuai putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.
Majelis Hakim MK menyatakan penerbitan perpu diperlukan dalam tiga kondisi, yakni:
1. Adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU
2. UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Syarat penerbitan perpu itu terdapat dalam poin pertimbangan nomor 10. Sedangkan nomor 11 menyebutkan, “Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat tiga syarat di atas adalah syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat 1 UUD 1945."
Putusan MK tersebut terbit karena perkara permohonan pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU KPK pada 4 Oktober 2009. Permohonan datang dari sejumlah advokat, seperti Saor Siagian hingga Mangapul Silalahi.
MK, yang saat itu dipimpin Mahfud MD, menolak permohonan mereka.
Kembali ke amar putusan MK, Majelis Hakim menyatakan frasa “Presiden berhak’ memang terkesan menunjukkan pembuatan sebuah perpu sangat subjektif. Namun, menurut MK itu tidak berarti secara absolut tergantung pada penilaian subjektif tersebut.
“Harus didasarkan kepada keadaan yang objektif, yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa,” demikian poin pertimbangan nomor 13.
Suara berbeda muncul dari partai-partai politik yang membahas revisi UU KPK 2002 di DPR, tak terkecuali dari partai-partai koalisi pendukung pemerintahan seperti PDIP.
Berbeda dengan Sepaham dan MCW, Ketua PDIP Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul justru menilai saat ini belum terpenuhi syarat mengeluarkan Perpu KPK jika mengacu putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010.
"Situasi genting itu bukan subjektif presiden,” kata dia di Gedung DPR pada Senin, 7 Oktober 2019.
Menurut dia, situasi kegentingan tadi harus dirasakan oleh masyarakat secara umum. “Emang kamu merasa? Kekosongan hukum, ono ora (ada tidak)?”
Bambang Pacul bahkan menyatakan negara tidak sedang dalam keadaan genting, terbukti KPK masih melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di tengah desakan penerbitan Perpu KPK. Maka, Sekretaris Fraksi PDIP di DPR ini menilai, tidak ada kekosongan hukum.