TEMPO.CO, Jakarta-Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jerry Sumampouw menilai Presiden Joko Widodo melanggar agenda reformasi 1998 jika tak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perpu KPK). Sebab, UU KPK hasil revisi dianggap justru melemahkan pemberantasan korupsi yang merupakan agenda reformasi ini.
"Kalau tidak mengeluarkan perpu, memang kita bisa katakan Presiden Jokowi adalah faktor kedua, di samping partai politik, yang menggagalkan agenda reformasi 1998 terkait pemberantasan korupsi," kata Jerry di kawasan Matraman, Jakarta, Senin, 14 Oktober 2019.
Bukan cuma itu, Jerry menilai Jokowi juga melanggar janji politiknya sendiri ketika pemilihan presiden 2014 dan kembali dilontarkan saat kampanye pilpres 2019. Dalam Nawacita, Jokowi berjanji melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Penguatan KPK termasuk salah satu turunannya.
Komitmen ini dipertanyakan ketika Presiden ternyata menandatangani revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Jerry, Presiden Jokowi harus segera mengeluarkan perpu untuk membatalkan hasil revisi itu. "Makanya kita dorong keluarkan perpu sebagai pemenuhan Nawacita. Banyak yang memilih Jokowi salah satunya karena komitmen pemberantasan korupsi," kata Jerry.
Jerry menilai Jokowi tak memiliki gelagat menerbitkan Perpu KPK, padahal waktu yang tersisa tinggal tiga hari lagi. Pada 17 Oktober mendatang, UU KPK hasil revisi otomatis akan berlaku dengan atau tanpa tanda tangan Presiden.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai sebenarnya Jokowi telah memiliki cukup alasan untuk menerbitkan Perpu KPK. Senada dengan Jerry, dia menilai Jokowi mengingkari komitmennya terhadap publik terkait pemberantasan korupsi.
"Faktanya Pak Jokowi tidak keluarkam hingga hari ini. Ini mengindikasikan Presiden kita tidak sedang berjuang sesuai amanah publik, tapi amanah partai politik," kata Ray di lokasi yang sama.
BUDIARTI UTAMI PUTRI