TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) Bambang Darmono bercerita tentang pesan yang diterimanya sebelum pecah kerusuhan di Wamena pada 23 September 2019. Pesan yang diterimanya pada 5 September itu mengatasnamakan pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Purom Okiman Wenda. Isinya meminta warga pendatang meninggalkan Papua atau mereka akan dieksekusi jika tetap tinggal.
"Intinya mereka meminta warga pendatang meninggalkan Papua. Jika tidak, mereka akan menembak," kata Bambang dalam wawancara khusus dengan Tempo dua pekan lalu.
Jenderal purnawirawan bintang tiga ini berkeyakinan, jika dia mendapat pesan itu, aparat keamanan pun seharusnya tahu dan mengantisipasi kemungkinan terburuk. Nahas, pada 23 September kerusuhan pecah di Wamena, menewaskan 32 orang dan membuat sekitar 5.000 lainnya terusir dari rumah mereka di ibu kota Kabupaten Jayawijaya itu.
Ketua lembaga adhoc yang berdiri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini mengakui pesan yang diterimanya itu bisa saja kabar bohong. Namun dia menilai kabar itu seharusnya tetap disikapi secara profesional lantaran jelas mengancam jiwa manusia.
Pesan itu dinilainya mengindikasikan kebencian dan ancaman untuk mengusir pendatang dari Bumi Cenderawasih. "Kalau bukti itu ada tapi pemerintah tidak melakukan antisipasi, itu bentuk pengabaian. Negara tidak hadir di Papua," ujarnya.
Para pendatang dari luar Papua adalah korban dalam kerusuhan 23 September lalu. Kerusuhan itu bermula dari salah paham antara seorang guru ekonomi pengganti, Riris Teodora Panggabean dan pelajar di Sekolah Menengah Atas PGRI 1 Wamena. Pelajar menuduh guru itu mengucapkan kata rasis.
Kepada polisi, Riris mengaku meminta anak yang tidak mengerjakan tugas berdiri di depan kelas, salah satunya siswa bernama Anton Pahabol. Versi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Pperwakilan Papua serta Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hasegem, nama anak itu adalah Nathan Pahabol. Kepada murid itu, Riris berkata, "Baca yang keras agar teman lain ikut dengar."
Kata "keras" inilah yang menjadi sumber masalah. Sang murid merasa Riris menyebutnya "kera". Tapi hingga selesai pelajaran, Pahabol diam saja. Isu rasisme baru muncul dua hari kemudian.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | MAJALAH TEMPO