INFO NASIONAL — Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, mendorong pemerintah untuk prioritaskan upaya merangkul komunitas atau kelompok masyarakat yang menolak takdir kebhinnekaan Indonesia. Rumusan pendekatan kepada kelompok atau komunitas-komunitas tersebut perlu diperbarui.
Untuk mendapatkan rumusan yang tepat, Pemerintah dan parlemen patut menjalin kerja sama dengan semua lembaga atau institusi keagamaan.
Rongrongan terhadap kebhinnekaan sudah demikian nyata, karena sejumlah komunitas terang-terangan menyatakan tidak lagi mencintai fakta keberagaman yang menjadi takdir bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam tahun-tahun terakhir ini, kelompok atau komunitas intoleran itu terlihat di mana-mana. Di sekolah, kampus perguruan tinggi, di banyak tempat kerja, dan di banyak institusi negara atau institusi pemerintah.
Pada saat yang sama, ada kekuatan lain yang menunggangi kecenderungan itu dengan mengerahkan pelaku teror. Kini, teror terhadap negara sudah menjadi ancaman nyata yang bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Inilah realitas masalah atau persoalan yang dihadapi Indonesia dewasa ini.
Negara memang sudah menyikapi kecenderungan ini dengan membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Di luar BPIP, banyak tokoh masyarakat dan pemuka agama, termasuk pejabat pemerintah yang tak hentinya menyerukan untuk menjaga kerukunan dan budaya toleran. Banyak kegiatan dialog lintas agama dan budaya sudah digelar.
Namun, publik merasakan bahwa ragam program dan pendekatan untuk mereduksi perilaku intoleran itu belum membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Kecenderungan saling hina antarkelompok atau antargolongan bahkan makin tinggi intensitasnya.
Karena itu, rumusan program dan model pendekatan lain perlu dicari dan dijajaki lagi. Utamakan program dan pendekatan baru yang bertujuan menghilangkan saling curiga. Selama ini, masih dirasakan adanya kebuntuan karena keengganan berdialog, belum lagi sikap saling curiga antara negara dengan komunitas-komunitas itu. Untuk tujuan ini, pemerintah dan parlemen perlu mengambil inisiatif.
Agar lebih komprehensif memahami akar permasalahan, pemerintah dan parlemen layak mendengarkan pandangan dan masukan dari lembaga-lembaga agama.
Akan menjadi ideal, kalau rumusan program dan model pendekatan baru itu dilandasi kemauan baik saling merangkul dalam konteks sesama anak bangsa untuk kemudian berdialog. Jika ada kontinuitas dialog, perilaku intoleran menjadi tidak relevan lagi. (*)