TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar politik Universitas Negeri Jakarta Ubedillah Badrun mengatakan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto lebih tepat mengisi kursi Dewan Pertimbangan Presiden atau Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan jika masuk ke dalam kabinet Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
"Posisinya bukan sekedar anggota Wantimpres, tetapi dia Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. Itu nampaknya lebih pas untuk Prabowo. Selebihnya tidak ada posisi lebih tepat. Mungkin sedikit agak tepat posisi Menko Polhukam," kata Ubed dalam diskusi Dinamika Politik Jelang Penyusunan Kabinet di Gado - Gado Boplo, Jakarta, Sabtu, 12 Oktober 2019.
Namun, Ubed menilai secara politik, Prabowo lebih aman menjabat sebagai Ketua Wantimpres ketimbang Menko Polhukam. Sebab, ada sejumlah resiko yang harus dihadapi Prabowo jika mengisi kementerian yang saat ini dijabat Wiranto itu.
Prabowo, kata Ubed, tidak bisa dipisahkan dari dinamika politik pada era 1998 yang kontroversial. "Aktor-aktor penting di era 98 dalam konteks keamanan negara itu ada pada Wiranto, ada pada Prabowo. Itu dua aktor utama yang sering kali jadi sorotan publik, bahkan dunia internasional," kata dia.
Nama Prabowo selalu dikaitkan dengan kasus penculikan aktivis pada akhir masa Orde Baru. Kasus penculikan aktivis ini marak terjadi pada 1997-1998. Salah satu kelompok penculik itu bernama Tim Mawar yang berasal dari Kopassus, yang komandan jenderalnya adalah Prabowo. Adapun Wiranto disebut-sebut sebagai dalang kerusuhan 1998.
Meski keduanya sudah mengklarifikasi soal keterlibatan dalam sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia di tahun 1998, Ubed mengatakan tidak bisa mengabaikan posisi strategis keduanya saat itu. Apalagi, Prabowo ketika itu merupakan menantu dari Presiden Soeharto.
"Tentu itu punya resiko, meskipun bisa jadi ketika Prabowo jadi Menko Polhukam peluang Prabowo menjelaskan pada publik apa yang sebenarnya terjadi pada 98," ucapnya.