BAP itu selesai pukul 03.00 dini hari, Selasa 1 Oktober 2019. Dzaki baru diperbolehkan menghubungi keluarganya pukul 05.00 pagi, namun belum ada jawaban.
Sesaat setelahnya, polisi berusaha menghubungi Ibu Dzaki, Yeni Sri Handayani, untuk diminta datang ke Polda. Dalam sambungan telepon, Dzaki mendengar Polisi melaporkan kondisi Dzaki dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. "Sehat dari mana?" katanya sambil sedikit tertawa.
Setibanya di Polda pukul 10.00 WIB, Yeni malah diping-pong mencari keberadaan anaknya. Yeni khawatir, pikirannya tak karuan. Ketika mengetahui keberadaan anak bungsunya, dia diminta menunggu bersama orang tua lainnya hingga Maghrib.
Tahanan pelajar dan mahasiswa dikumpulkan di musola pukul 18.00 untuk membaca surat Yassin bersama-sama serta mendengarkan tausiyah dari seorang ustad. "Saya lihat Dzaki. Waktu dia nengok, waduh lebam-lebam," kata Yeni.
Dzaki bersama beberapa tahanan akhirnya baru dibebaskan pukul 21.00. Yeni langsung membawa anaknya menuju rumah sakit agar diperiksa keadaannya. Mahasiswa angkatan 2018 itu mengaku tak merasa sakit.
"Fisik kalau laki-laki masih bisa ditahan. Tapi kalau mental itu diserang banget. Yang lain pada nangis. Saya kasihan. Saya enggak mikirin saya sendiri tapi saya mikirin yang lain. Saya kasihan yang STM, mental sih kena," katanya.
Yeni menyesali dan tak terima atas apa yang terjadi pada anaknya. Dia menyebut sumpah aparat mengayomi masyarakat tak ada artinya. "Yang tadinya saya menghormati polisi, ya enggak simpatik sama sekali," kata Ibu 59 tahun itu.
Dzaki pun tak muluk-muluk. Ketika ditanya harapannya pasca dikeroyok, dia hanya ingin bertanya pada aparat mengapa dirinya dipukuli meski tak berbuat anarkis. "Kalau polisi bisa kasih alasan jelas saya terima saya salah. Tapi kalau enggak bisa ya tolong dipakai lah otaknya. Jangan fisik doang. Mereka bilang tolong ubah pola pikirnya, tapi tolonglah kalian ngaca," kata Dzaki.