TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Laksono Trisnantoro mengatakan defisit BPJS Kesehatan karena membengkaknya biaya pengobatan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari kalangan ekonomi orang mampu. Peserta JKN-KIS terbagi menjadi beberapa golongan. Di antaranya Penerima Bantuan Iuran PBI, Peserta Penerima Upah (PPU) dan Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU).
Dari penggolongan itu, "PBI biayanya ditanggung APBN berjumlah 43,2 persen dari seluruh peserta JKN-KIS," ujar Laksono, di Yogyakarta, Selasa 8 Oktober 2019. Sedangkan PBI yang biayanya ditanggung APBD berjumlah 16,4 persen, PPU sekitar 23,4 persen, PBPU 14,7 persen dan yang masuk golongan bukan pekerja sekitar 2,3 persen.
Menurut dia, PPBU 14,7 persen itu golongan orang kaya yang paling banyak menggunakan defisit BPJS. Karena penggunaannya banyak sedangkan preminya sangat murah, Rp 80 ribu, Rp 51 ribu dan 25 ribu," kata dia.
Selama ini, kata dia, golongan PBI yang anggarannya ditanggung APBN tidak pernah defisit. Anggaran sisa itu kemudian dipakai BPJS Kesehatan untuk membiayai golongan PBPU.
Anggaran BPJS Kesehatan masuk dalam satu pintu. Kalau di PBI anggarannya sisa, otomatis dipakai untuk kelompok yang minus. "Anggaran masuk pada satu lubang akhirnya kecampur, karena golongan JKN-KIS tidak dipilah-pilah."
Laksono menyarankan pemerintah menyusun kebijakan kompartemenisasi dalam dana amanat. Tujuannya agar BPJS tidak defisit pembiayaan. Dengan cara itu persoalan BPJS Kesehatan diyakini akan teratasi. “Kompartemenisasi ini seperti membuat kantong pengelolaan dana amanat berdasarkan kelompok peserta. Tujuannya agar dana BPJS tidak tercampur,” kata dia.
Selama ini dana untuk masyarakat miskin di BPJS Kesehatan terbukti digunakan untuk membiayai masyarakat mampu. “Terjadi gotong royong terbalik.”